Mohon tunggu...
A Damanhuri
A Damanhuri Mohon Tunggu... Jurnalis - Gemar bersosial dan penikmat kopi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Mengucapkan sebuah kata sejati, adalah mengubah dunia. Dalam kata ditemukan dua dimensi: Refleksi dan Tindakan". (Paulo Freire)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan dari Padang Magek, Jadi Santri di Tengah Kepergian Dua Ulama Besar

13 Mei 2020   23:45 Diperbarui: 14 Mei 2020   00:26 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku merasakan, saat di Padang Magek itu tak ada berkurangnya santri yang mondok lantaran ditinggal pengasuhnya. Memang ada yang pindah sebagian santri ke pesantren lain, seperti ada yang ke Bukit Tandang, Kabupaten Solok, ke Pudak, Kabupaten Sijunjung. Tetapi santri yang datang lebih banyak lagi dari pindah mondok.

Artinya, proses belajar mengajar tetap berjalan sepeninggal Buya Salim Malin Marajo. Mungkin karena banyak kader yang ditinggalkannya, sehingga Darul 'Ulum Padang Magek tetap eksis dan bertahan dengan segala dinamikanya.

Kalau kita lihat pesantren lain yang ditinggal guru besarnya itu, banyak yang tutup. Sekedar menyebut nama, di Bukit Tandang Solok itu sudah tidak ada lagi orang mondok, sejak Buya Tuanku Khaidir wafat.

Begitu juga sejumlah pesantren yang sama di Padang Pariaman. Artinya, nilai lebih yang bisa kita ambil di sini mampunya Buya Salim Malin Kuniang meletakkan pondasi dasar yang cukup kuat, sehingga Darul 'Ulum Padang Magek semakin diminati santri.

Setahun aku di Padang Magek, terdengar kabar bahwa pimpinan Pesantren Luhur Kalampaian Ampalu Tinggi, Syekh H. Ibrahim meninggal dunia. Kabar itu yang dapat pertama kali di Padang Magek adalah Tuo Sumardi.

Dia guru tuo yang dipercaya tinggal di Surau Tungga. Dia punya sebuah radio. Dari radio pagi yang dia dengar kepergian ulama besar tersebut. Tuo Sumardi adalah orang Sungai Pua Tanjung Mutuih, Nagari Koto Dalam. Tak heran, anak asuhannya banyak yang datang dari nagari terdekat, seperti dari Ambacang Gadang.

Dari Surau Tungga, Tuo Sumardi jalan kaki ke Rambatan untuk selanjutnya naik mobil ke Simpang Lima Kaum. Lalu singgah di Surau Tabiang. Orang, para santri senior sedang mengaji pagi bersama Mak Kakan dan Mak Nur.

Setelah mengucapkan salam, Tuo Sumardi masuk dan mengabarkan bahwa dia pagi tadi dapat kabar, kalau Buya Ampalu Tinggi meninggal. Spontan, guru-guru dan santri yang sedang mengaji mengucapkan Innalillahi wainnailaihi rajiun.

"Ambo mungkin langsung berangkat ke bawah," kata Tuo Sumardi. Tuo Sumardi ini kabarnya, sebelum ke Padang Magek sempat nyantri di Ampalu Tinggi bersama Syekh Ibrahim tersebut. Saat aku di Padang Magek, Tuo Sumardi telah menjalani profesi seperti Mak Anjang pula, yakni tukang servis jam di pasar. Makanya, hari Selasa dia buka pula di Rambatan, Kamis di Batusangkar, serta ke pasar lainnya di daerah itu.

Jadi, aku merasakan di Padang Magek itu selalu ada guru tuo yang membimbing di tiga surau tersebut. Bahkan, saat aku jadi santri baru terasa sekali banyaknya santri senior yang selalu memberikan motivasi.

Memang, secara duduk bersilanya, aku tak sempat ngaji sama Tuo Sumardi. Namun, saat aku akan pindah ke Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan tahun 1994, Tuo Sumardi yang aku cari dan minta tolong sama dia untuk mengantarkan aku ke Lubuk Pandan pertama kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun