Mohon tunggu...
A Damanhuri
A Damanhuri Mohon Tunggu... Jurnalis - Gemar bersosial dan penikmat kopi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Mengucapkan sebuah kata sejati, adalah mengubah dunia. Dalam kata ditemukan dua dimensi: Refleksi dan Tindakan". (Paulo Freire)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lapau Kejujuran, Tarekaat dan Kajian Kampung ala Padang Magek

13 Mei 2020   16:52 Diperbarui: 13 Mei 2020   17:09 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Tanah Datar Irdinasyah Tarmizi hadir dalam acara tamat kaji di lingkungan Pondok Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek beberapa tahun lalu. (foto dok facebook ponpes darul ulum padang magek)

Surau Ateh, di samping berfungsi sebagai tempat mengaji, juga jadi asrama guru tuo. Mendiang Iskandar Tuanku Kuniang, Anwar Tuanku Sutan Marajo tinggal di Surau Ateh. Sebuah jendela surau dijadikan Iskandar sebagai warung. Dia menjual banyak hal makanan, minuman dan rokok.

Setelah Iskandar pergi dari pesantren, warung itu dilanjutkan Anwar Tuanku Sutan Marajo. Di warung itu umumnya kami para santri belanja kalau sedang kegiatan di surau. Ambil barangnya sendiri, lalu tarok uangnya dalam warung itu yang sudah ada tempatnya.

Zaman itu, 1980 an hingga 1990 an belum dikenal di sekolah-sekolah istilah kantin kejujuran. Tetapi, kami santri Darul 'Ulum telah membuatnya. Ada yang berutang, dan mungkin ada yang tidak jujur. Tapi yang jelas, kedua guru tuo itu saat jualan sepenuhnya ikhlas. Guru tuo itu hanya tahu saat akan belanja lagi, yakni hari Selasa di Pasar Rambatan. Soal berapa uang terkumpul dalam kedai, itu banyak dilakukan Tuo Jalil, Tuo Syahrial dan Tuo Syamsuardi.

Di Surau Ateh pula kegiatan latihan pidato. Dan bila acara tahunan, seperti peringatan Israk Mikraj, itu juga diadakan di Surau Ateh. Termasuk juga wirid yang tua-tua alias ngaji thariqat bersama mendiang Buya Zen dari Tandikek diadakan sekali lima belas hari juga di Surau Ateh.

Begitu juga ngaji para guru tuo dengan Mak Anjang yang dilakukan tiap malam, juga di Surau Ateh. Dilakukan di atas anjung. Aku termasuk yang ikut dalam rombongan ngaji bersama Mak Anjang itu bersama rombongan dari Surau Peto.

Kelompok Surau Peto itu, di samping aku ada Marjoni, Buyuang Sayang, Bakaruddin alias Atang, Ermi Johanda, Soni Irama, dan kawan lainnya. Sesekali kami yang tinggal di surau itu, dikasih ikan oleh Gaek Peto. Suraunya dikelilingi oleh kolam ikan, yang airnya terus mengalir dari aliran irigasi.

Meskipun kami tinggal di Surau Gaek Peto, soal masak tetap di Surau Baru. Termasuk juga kawan-kawan yang belakangan tinggal di surau yang baru dibangun keluarga Buya Salim Malin Kuniang, sebelah kiri Surau Gaek Peto juga masaknya di Surau Baru. Sekali piket memasak itu cukup banyak anggotanya. Nasi disanduk di dapur, lalu yang piket mengantar ke asrama kawan-kawan dan guru tuo.

Jadi, jadwal menghafal bersama di Surau Gaek Peto kami lakukan, bila tidak ada kegiatan di luar. Sehabis Isya, itu mengaji di atas anjung Surau Ateh bersama Mak Anjang. Sementara, pagi ikut mengaji di Surau Bawah, di Surau Tabiang. Sebab, mengaji pagi dari dulu itu bergiliran tempatnya antara surau yang dua itu. Biasanya, pagi itu di samping mendiang Mak Kakan, juga ada guru Mak Nur, dan Pak Suin. Mak Anjang ada manakala dia sedang tidak ke pasar.

Kumpulan pengajian thariqat bersama Buya Zen, aku tak ikut. Dalam rombongan Surau Gaek Peto yang ikut hanya seorang Marjoni. Sebab, Marjoni dianggap cukup usia untuk ikut pengajian yang tua-tua itu. Suatu kali aku dan Buyuang Sayang pernah mencoba mengintip pengajian itu dari luar surau, dengan cara diam-diam.

Baru sebentar mendengar, keluar Tuo Anwar, langsung menegur kami untuk tidak ikut menguping pengajian tersebut. "Belum pengajian kita itu. Nanti ada masanya. Ibarat anak ayam kalau dikasih padi nanti dia tercekek. Sebab, belum ukuran anak ayam itu makan padi," ulas Tuo Anwar menjelaskan, bahwa santri itu diibaratkan bagaikan anak ayam yang belum pantas memakan yang keras dan berat.

Dengan tersipu malu, dan pura-pura ingin belanja ke atas anjung, lalu pergi meninggalkan Surau Baru, dan pergi ke belakang, Surau Gaek Peto. Jadwal Buya Zen itu, di samping malam bersama jemaah yang tua-tua yang berasal dari orang kampung sekitar pesantren, dan sebagian guru tuo, pagi Minggu-nya, menjelang balik ke Tandikek, Buya Zen yang alumni Pesantren Madinatul 'Ilmi Buluah Kasok, Padang Pariaman ini ikut mengajarkan kajian kitab pagi Minggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun