Menara Pandang itu tampak cantik dan indah. Pantulan cahaya lampunya dari kejauhan di kala malam seolah ingin mempertahan pengunjung dan tak bisa berinsut dari tempat duduknya. Terutama pasangan muda mudi yang tengah berkisah dan bercerita antara yang satu dengan yang lainnya dari seberang Sungai Martapura.
Dikutip dari laman Tribunbalangan.com, Jumat 14 Februari 2020, Menara Pandang Banjarmasin diresmikan pada Juni 2014. Menara ini masih di lingkungan Siring Sungai Martapura, jalan Kapten Pierre Tendean Banjarmasin.
Menara ini memiliki empat lantai, luas bangunannya 1x36 meter, tinggi 31 meter, arsitektur bangunan Menara Pandang ini adalah khas Banjar. Lantai dasar tidak berdinding depan dan belakangnya, lantai dua dan tiga ada dindingnya, dan lantai empat paling atas tidak berdinding juga.
Jadi pengunjung yang datang naik ke atas menara bisa melihat pemandangan Sungai Martapura, gedung-gedung bertingkat di sekitar sungai dan pemandangan lainnya dari atas menara.
Menurut Wikipedia, nama sungai ini diambil dari nama Kota Martapura, yang terletak di sebelah hulu Kota Banjarmasin. Nama Martapura diberikan oleh Raja Banjar ke-4 Sultan Mustain Billah sebagai ibu kota yang baru didirikan kira-kira pada tahun 1630 setelah dipindah dari Banjarmasin ke kawasan Kayutangi (terletak di sebelah hulu). Karena itu nama kuno sungai Martapura adalah sungai Kayutangi
 Nama lainnya yang dahulu digunakan adalah Sungai Tatas, mengacu kepada delta Pulau Tatas, daerah yang pada 13 Agustus 1787 menjadi milik VOC-Belanda (kotta-Blanda) dan sekarang merupakan pusat Kota Banjarmasin modern. Nama lain Kota Banjarmasin adalah Kota Tatas.
Perut lapar. Itu cerita utama. Apalagi sehabis perjalan panjang lewat udara dan darat dari Padang Pariaman, pas tiba di lokasi HPN jelas mengundang untuk lekas pergi dari tempat penginapan untuk mencari yang namanya pengganjal perut agar jangan terlalu lama berbunyinya.
Hanya saja, upaya untuk melihat kehidupan malam di pinggir Sungai Martapura, bersua banyak orang, ada yang kenal dan banyak pula yang tak saling kenal, membuat perbandingannya sama antara perut keroncongan dengan upaya melihat keingin-tahuan tersebut.
Apa yang disampaikan Gusfen Khairul benar adanya. Setelah penat berjalan, dan nyaris mengelilingi kawasan Pasar Terapung, yang namanya warung nasi Padang tak bersua. Akhirnya, kami bersua warung nasi tak jauh dari penginapan. Malam mulai larut, selera makan pun berkurang karena ngantuk dan lelah tak bisa pula beranjak dari badan.
Adalah Ikhlas Bakri. Mantan Ketua PWI Padang Pariaman dan Kota Pariaman dua periode ini membuat perjalanan jadi enak dan menyenangkan. Di samping dia suka melawak, banyak cerita, dia juga hafal nama-nama kampung. Dan sedikit pandai pula berbahasa daerah yang disebutnya.
Dengan ini, orang yang ditanyanya merasa susah untuk mengelak, dan malah meyakini kalau kampungnya memang berdekatan dengan kampungnya Ikhlas Bakri.
"Ini yang di depan jalan itu, dan terus di ujungnya ketemu dengan jalan ini, dan seterusnya," begitu Ikhlas untuk memecah kesunyian dalam mobil, memulai dialognya dengan sopir. "Di mana aslinya, Bang," tanya Ikhlas.
"Saya Solo, misalnya jawab sang sopir. Ikhlas langsung menambahkan, kalau dia orang yang kampungnya dekat dari Solo itu. Dia sebutlah tempat ini dan itu, serta lokasi lain yang kemungkinan sopir itu tahu dengan hal yang disebutnya.
Itulah barangkali ciri khas seorang Ikhlas Bakri. Orangnya banyak teman dan kenalan. Luas jaringan dan jangkauan. Barangkali tema HPN kali ini; Menggelorakan Kalimatan Selatan sebagai Ibu Kota Negara akan membuat Ikhlas Bakri lebih leluasa berselancar, mengkalkulasikan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, bila Ibu Kota Negara telah berada di Kalimatan Timur, seperti yang sudah dicetuskan Presiden Joko Widodo.
"Hebat, Ketua," kata saya. "Oh, kalau soal (mengurus berbagai hal) itu sudah lama saya hebatnya," jawab dia. Jawabnya itu membuat kita geli dan tak tahan ketawa kadang-kadang.