Saling menghormati ala kaum sufi. Ini barangkali yang terlihat saat itu. Sebab, Tuanku Shaliah ingin mandi di Batang Mangoi di bagian atas, agak sedikit jauh dari kediaman Tuanku Bagindo di Lubuak Pua. Tuanku Shaliah kediamannya di Pasa Panjang, Nagarai Sungai Sariak, berjarak sekitar lima kilometer kalau ditelusiri sungai itu dari Lubuak Pua ke Pasa Panjang. Secara kasat mata, sama sekali tak kelihatan dua tokoh ulama tersebut. Namun, pandangan batin Tuanku Shaliah tembus dan dia melihat langsung Tuanku Bagindo sedang mandi pula. Tembus pandangan itulah Tuanku Shaliah disebut ulama karamah, yang di Piaman populer dengan sebutan "kiramaik".
Penghormatan Tuanku Shaliah ke Tuanku Bagindo ini menjadi amalan oleh pengikutnya. Buktinya, sepanjang sejarah dan setiap agenda tahunan Maulid Nabi Muhammad SAW di tempat Tuanku Shaliah, selalu yang membaca doa-nya Tuanku Bagindo Lubuak Pua. Menurut H. Labai Zarkasi, sudah menjadi acara tahunan di Surau Pasa Panjang setiap merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, selalu manyembelih seekor kerbau untuk jamuan makan bersama selesai acara itu.
"Kita tunggu dulu Tuanku Bagindo Lubuak Pua yang membacakan doa," kata Tuanku Shaliah, seperti diceritakan kembali oleh Labai Zarkasi kepada Afrizal Arif Tuanku Mudo. Yang dimaksud tunggu di sini, tak mesti Tuanku Bagindo Lubuak Pua hadir dalam acara Maulid itu. Bahkan acap dan sering doa dibacakan secara jarak jauh. Dan itu tentu yang memahaminya ulama yang berdua itu. Hanya dia berdua yang sama-sama ulama tembus pandang atau melihat secara batin. Artinya, bisa jadi Tuanku Bagindo hanya membacakan doa dari Lubuak Pua, dan Tuanku Shaliah bersama masyarakat mengaminkan dari Pasa Panjang.
H. Kadai, Khalifah Tuanku Bagindo setelah H. Bimba. Foto Dokumen Madrasatul 'Ulum.
Sebagai ulama besar yang mahir zahir batin, asuhan Tuanku Bagindo pun banyak yang jadi ulama. Ada muridnya yang mahir dan pandai pengajian thariqat, dan banyak pula yang mampu mengembangkan kajian kitab kuning. Di antara murid-muridnya itu, tersebutlah Tuanku Tatin Bisati, Tuanku Topong Lohong, Tuanku Na'ali Lohong, Tuanku Mirin Lubuak Pua, Tuanku Pono Lubuak Pua. Sedangkan ulama yang sering mengulang pengajian dengannya Tuanku Surau Duri atau Tuanku Juwin, Tuanku Palo Banda, Tuanku Mek Aya Sungai Tareh dan sejumlah ulama lainnya.
Meskipun banyak masyarakat yang belajar dan ulama yang mengulang pengajiannya dengan Tuanku Bagindo di Lubuak Pua, tak membuat beliau fokus menghadapi orang banyak saja. Sesekali dia juga pergi pula keluar Lubuak Pua untuk mengulang kajinya ke ulama yang dianggapnya lebih pandai dan lebih senior. Sesekali dia pergi ke Ampalu Tinggi. Bersua dengan Syekh Muhammad Yatim atau yang populer dengan sebutan Tuanku Ampalu. Begitu juga ke Bintuang Tinggi dengan Syekh Bintungan Tinggi, Tuanku Bagindo juga menjadikan ulama itu sebagai gurunya.
Tuanku Buyuang Laut Andenai, satu dari sekian banyak anak asuhan Tuanku Bagindo punya pengalaman tersendiri dengan gurunya itu. "Di usia Tuanku Bagindo yang telah lanjut, saya sering disuruh mengurut kakinya. Dan pernah ikut menggotongnya untuk pergi ke suatu tempat untuk memberikan pengajian," kata Tuanku Buyuang Laut Andenai suatu ketika.
Para Khalifah Tuanku Bagindo Lubuak Pua. Foto Dokumen Madrasatul 'Ulum
"Meskipun sudah usia senja, semangat masyarakat untuk mendengar petuah dan pengajian dari Tuanku Bagindo tidak pernah kendur. Bagi masyarakat, yang penting TUanku Bagindo harus hadir dan memberikan pengajian di tempatnya. Makanya, satu-satunya jalan, ya Tuanku Bagindo harus kita gotong pakai tandu secara bersama untuk sampai ke tempat tersebut," ujarnya.
Lautan masyarakat ikut mengantar jenazah Tuanku Bagindo
Ketinggian ilmu, banyaknya jemaah dan ulama yang menjadi pengagum Tuanku Bagindo, membuat ulama itu semakin dicintai oleh masyarakat. Tak heran, di akhir hayatnya, masyarakat mengalami kedukaan yang amat mendalam. Hanya kabar dari mulut ke mulut, pada saat dia meninggal dunia, ribuan jemaah, ulama, tokoh masyarakat, santri dan orang kebanyakan ikut larut dalam memberikan penghormatan terakhir kepada Tuanku Bagindo. Kala itu tahun 1955 M, Tuanku Bagindo mengalami sakit karena usia lanjut. Tak lama, ajalpun datang.
Saking banyaknya masyarakat yang datang, jenazah Tuanku Bagindo dimandikan di atas anjung Surau Pekuburan, tempat dia berbaring saat sakit. Untuk mengangkut ke kuburan yang lokasinya tak begitu jauh dari surau, orang tak perlu berjalan. Cukup dibentuk barisan tanpa ada komando, lalu jenazah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, hingga sampai di kuburan. Artinya, tak butuh tandu untung mengangkut jenazah Tuanku Bagindo, saking banyak dan padatnya lokasi Surau Pekuburan oleh masyarakat yang datang melayat.
H. Bimba, Khalifah Tuanku Bagindo Pertama. Foto Dokumen Madrasatul 'Ulum.
Pasca wafatnya Tuanku Bagindo, niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai dan pemuka masyarakat melakukan musyawarah mufakat. Hasil kesepakatan bersama, maka ditunjuklah kemenakan Tuanku Bagindo sebagai khalifahnya, yakni Tuanku H. Bimba, yang pada saat Tuanku Bagindo meninggal, Tuanku H. Bimba ini masih berusia 14 tahun. Khalifah ini dipegang oleh Tuanku H. Bimba selama 35 tahun. Hanya ajal yang memisahkan dia dengan jabatannya.
Lihat Humaniora Selengkapnya