"Sepulangya mangaji di Koto Tujuah, Tuanku Bagindo menetap dan tinggal di Surau Pekuburan Lubuak Pua. Dia mulai mengajarkan pengajian Thariqat Shattariyah yang didapatnya dari Syekh Muhammad Yasin," cerita mendiang Mak Aciak yang disampaikan kepada Afrizal Arif Tuanku Mudo, ulama muda asal Lubuak Pua yang juga terbilang kemenakan oleh Mak Aciak tersebut pada saat dia masih hidup.
Makin lama Tuanku Bagindo di Surau Pekuburan, semakin dikenal pula oleh masyarakat. Banyak orang yang memintak Tuanku Bagindo untuk tinggal di surau kampung lain. Tunku Bagindo juga dikenal peduli terhadap kebutuhan masyarakat. Dia tidak hanya memperhatikan keadaan agama tetapi juga kebutuhan sosial masyarakat lingkungannya.
Dengan ini, tradisi indang , randai, silek termasuk acara yang digemarinya. Dia bisa berhabis waktu tatkala menyaksikan kesenian yang populer di Kabupaten Padang Pariaman tersebut. Makanya pada saat ada acara berkumpul di laga-laga, membicarakan pembangunan atau membuat acara di laga-laga, Tuanku Bagindo kadang-kadang lebih duluan datangnya. Tidak sekedar datang, dia menyumbang pula untuk pembangunan laga-laga yang sedang terbengkalai atau rusak. Perlakuan seperti, membuat mudahnya ia bisa mengajak masyarakat untuk terus berbuat baik.
Tak ada surau dan masjid yang terbengkalai, dan sejarah Irigasi Ujuang Gunuang
Mendengarkan kaji yang akan disampaikan Tuanku Bagindo di suatu tempat, masyarakat langsung berbondong-bondong meramaikan surau atau masjid tempat pengajian akan digelar. "Sudah menjadi buah bibir di tengah masyarakat, bahwa Tuanku Bagindo terkenal dengan sebutan tuanku yang selalu memyelesaikan pembangunan masjid dan surau yang sedang terbengkalai. Dan itu terbukti, tidak sedikt masjid yang selesai pembangunannya berkat adanya Tuanku Bagindo," cerita Mak Aciak lagi.
Mak Aciak menyebutkan pengalamanya yang lama bergaul dengan Tuanku Bagindo, surau yang tercatat pernah dihuni dan dibangun oleh Tuanku Bagindo adalah Surau Gadang Ampalu, Masjid Lubuak Bareh, Masjid Sungai Ibua, Masjid Sungai Durian, Masjid Bisati, Masjid Pincuran Sonsang dan
masih ada yang lainnya.
Menurut Mak Aciak, Tuanku Bagindo adalah penggagas dan pencetus pembuatan banda irigasi dari Ujuang Gunuang sampai ke Limau Hantu untuk mengaliri sawah masyarakat. Pembuatan banda air yang kemudian dikenal dengan Irigasi Ujuang Gunuang itu dilakukannya bersama masyarakat sekira tahun 1915 M. Dia langsung yang mengatur giliran goro bagi masyarakat yang akan mendapatkan manfaat air dari banda tersebut. Banda itu siap tahun 1930 M.
"Kalau orang tahu Tuanku Bagindo telah pergi ke lokasi pengerjaan irigasi itu, maka orang banyak pada berlarian mengikutinya. Begitu tingginya penghormatan orang dulu pada ulama yang juga pemimpin di tengah masyarakat," sebut Mak Aciak.
Tuanku Bagindo punya istri di Tanah Pahlawan Bisati, melahirkan anak yang bernama; Pondik, Tirawi dan Sarima. Di Kampung Piliang Bisati, Tuanku Bagindo menikah dengan Hj. Pinuik dan mempunyai anak, H. Pakiah, H. Kisah, Mali, H. Dayang. Di Sungai Karuah dengan Sarijam yang melahirkan Ahmad Yasin, Mariani dan Mansuwir. Di Padang Kandang istrinya Hj. Sori. Di Sungai Ibur dengan Johari, melahirkan anak yang bernama Jamaris dan Tuanku Bahar.
Penghormatan ala ulama kaum sufi, saling hormat-menghormati
Â
Tuanku Bagindo Lubuak Pua sezaman dengan Tuanku Shaliah Kiramaik Sungai Sariak. "Suatu kali Tuanku Shaliah mau mandi di Sungai Batang Mangoi yang airnya sealiran dengan sungai yang melintasi Lubuak Pua. Namun ia tertegun dan berhenti seolah-olah menunggu seseorang. Padahal waktu itu tidak terlihat ada orang di Batang Mangoi tersebut. Bertanya seseorang, menunggu siapa Buya? Tuanku Shaliah menjawab, menunggu Rang Gaek Tuanku Bagindo yang sedang mandi di baruah," kata Mak Aciak.