Nama Lubuak Pua sangat populer. Saking terkenalnya, nama kampung kecil itu mampu mengalahkan induknya, Nagari Balah Aie Utara. Ketika menyebut Lubuak Pua, orang lebih cepat menangkapnya ketimbang menyebut Balah Aie. Era 1980 an, Lubuak Pua ini dipersingkat lagi dengan sebutan Lupus.
"Dima sikola, tanya seseorang kepada anak SMAN I VII Koto Sungai Sariak. Anak itu langsung menjawab, di SMA Lupus, Pak," katanya menjawab. Lupus artinya Lubuak Pua Sekitarnya. SMA itu terletak di Lubuak Pua, maka dijawabnya di Lupus. Belakangan, nama Lupus mulai menghilang. Tetapi nama Lubuak Pua tetap mentereng, dan masih tetap di atas nama Balah Aie Utara sebagai nama Pemerintahan Nagari kampung tersuruk, Lubuak Pua ini.
Di samping berdirinya SMA di era Orde Baru, nama Lubuak Pua sebenarnya telah tenar juga lantaran pengaruh besar Surau Pekuburan. Surau yang terletak di pinggir Sungai Batang Mangoi ini pada zaman dulu punya pengaruh yang amat luar biasa. Kebesaran surau ini hampir sama besarnya dengan ketokohan Tuanku Bagindo Lubuak Pua.
Ulama yang memiliki nama Muhammad Umar, hidup dari 1875 - 1955 M ini punya pengaruh dalam mengembangkan ilmunya di tengah masyarakat. Boleh dikatakan, para tukang bangunan yang jaya pada Orde Lama dan Orde Baru berguru kepada Tuanku Bagindo Lubuak Pua ini. Begitu juga orang yang akan jadi labai dalam kaumnya di VII Koto Sungai Sariak juga berguru dan mendatangi Tuanku Bagindo dulunya.
Di samping sebagai ulama yang punya banyak jemaah dan pengikut, Tuanku Bagindo juga tokoh niniak mamak dalam kaumnya Suku Jambak Lubuak Pua. Tak heran, dunsanaknya banyak yang memanggil dia dengan sebutan Mak Wan atau Mek Uma. Khusus panggilan Mek Uma ini, mungkin dari orang-orang yang tagak samo tinggi, duduak samo randah dengan beliau. Disebut sebagai Tuanku Bagindo Lubuak Pua, karena dia mengembangkan ilmu di Surau Pekuburan Lubuak Pua, sejak awal pulang dari menuntut ilmu, hingga dia wafat pada tahun 1955 M.
Beliau adalah ulama kharismatik, berpengaruh dan dihormati oleh jemaah dan murid-murinya. Tuanku Bagindo juga terkenal ketaatan dan keshalihannya. Dalam beribadah dan kepiawaian mengajak masyarakat untuk mangaji ke surau, dia tidak memilih-milih dalam mempergauli masyarakat. Baik orang kecil maupun orang besar, orang surau ataupun preman dalam pandangannya sama, sehingga masyarakat sangat dekat dengannya.
Mengaji di Tanjuang Ampalu
Kebesaran nama Tuanku Bagindo yang dirasakan masyarakat saat berkiprah di Surau Pekuburan yang sejak 1991 M bernama Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum tersebut, tak terlepas dari ayahnya; Bagindo Etong, seorang pekerja keras yang tidak kenal lelah. Bekerja mati-matian, demi
menghidupi keluarga dan anaknya agar menjadi orang yang berguna bagi agama dan negara.
Banyak santri yang belajar di Tanjung Ampalu yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya Syekh Muhammad Yasin yang sampai sekarang selalu diziarahi oleh jemaah makamnya, baik dari Padang Pariaman maupun dari daerah lainnya setiap Bulan Rajab dan Sya'ban.
Menurut cerita Kapalo Mudo Mak Aciak, Tuanku Bagindo mangaji di Koto Tujuah salama 12 tahun. Kemudian dia disuruh oleh gurunya mengulang
kaji atau melanjutkan pengajian dengan Tuanku Padang Gantiang atau Syekh Talawi di Batusangkar. Setelah itu, Tuanku Bagindo balik kembali ke Koto Tujuah untuk memutuskan kajinya bersama Syekh Muhammad Yasin.