"Already long ago, from when we sold our vote to no man, the People have abdicated our duties; for the People who once upon a time handed out military command, high civil office, legions --- everything, now restrains itself and anxiously hopes for just two things: bread and circuses ..."
-Juvenal, Ancient Rome-
Ada sebuah pepatah tua latin yang berbunyi "Penem et circuses", dimana kita menjual pendapat kita dan peran sebagai masyarakat hanya untuk sebuah roti dan sirkus.
Roti dan sirkus (bread and circus) merupakan gambaran sesuatu yang ditawarkan untuk mengalihkan perhatian dari masalah atau kesedihan. Istilah tersebut dibuat terkenal oleh seorang puitis bernama Juvenal. Juvenal mengomentari kehidupan dimasa kerajaan dimana kegiatan militer dan politik tidak terlalu penting dan menarik dimata masyarakatnya. Bagi masyarakat yang terpenting adalah makanan dan hiburan yang gratis untuk di nikmati.
Pada kisahnya ada sebuah roti bernama Annona yang di berikan pemerintah secara gratis dengan sayur sayuran kepada rakyat roma. Selain itu ada pula sebuah sirkus balapan kuda yang bernama Circus Maximus yang bahkan lebih populer daripada gladiator dan olahraga. Â Dua hal inilah yang menjadi dasar konsep "roti dan sirkus". Kebahagiaan yang didapat dengan cukup mudah dan murah ,serta dapat menghentikan proses kemajuan dan serta kritisi masyarakat.
Hanya dengan roti dan hiburan murahan kita bisa membunuh kepedulian dan empati masyarakat untuk lebih maju lagi. Dengan "suapan" murah tersebut masyarakat roma tunduk dan patuh kepada kerajaannya dan memaklumi segala perlakuan dan kebijakan kejam yang terjadi selama expansi dan perkembangan kerajaan roma. Bertahun tahun setelah runtuh pun sekarang roma masih dikenal dengan sejarahnya yang penuh dengan peperangan, dan kebrutalannya. Film seperti Gladiator telah mengabadikan bagaimana kehidupan di roma penuh dengan konflik dan kekejaman, terutama didalam arena bertarungnya.
Inilah yang mulai terjadi di Indonesia, dimana masyarakat mulai terlena dengan roti dan sirkus modern. Masyarakat mementingkan konflik konflik kecil dan menghindari adanya kemajuan berpolitik secara cerdas dengan menjauhi gambar besar dari tiap konflik.
Berbagai macam kejadian kecil dibesar besarkan dan dijadikan bahan konflik untuk di goreng dan akhirnya dinikmati sebagai sebuah sirkus. Sirkus yang tidak membawa kebaikan apapun kecuali beberapa pihak yang memanfaatkannya. Suatu pertunjukan buatan dimana masyarakat malah ikut terlena menjadi aktor dalam konflik dan pada akhirnya menjadi bahan hiburan dan tertawaan beberapa tokoh saja.
Perhatikan saja dalam berbagai macam kasus sederhana seperti salah pengucapan kata oleh berbagai tokoh. Sebagai contoh terbaru adalah pengucapan kata "wajah boyolali" dan "sontoloyo" yang dibesar besarkan. Setiap orang mengartikannya terlalu berlebihan dan semua orang disibukan oleh komentar komentar dan demo. Hal ini juga mengalihkan perhatian masyarakat dari gambaran besar yang membawakan pesan tersebut.
Roti dan Sirkus merupakan sesuatu yang tidak sehat dan tidak akan membwa kemajuan. Tidak ada salahnya roti dan sirkus diberikan dengan secukupnya, akan tetapi jangan sampai kita kehilangan fokus utama apa yang harus diperhatikan. Jangan sampai Indonesia menjadi terpecah belah hanya karena menjadi sebuah hiburan beberapa pihak yang senang akan perpecahan.
Pada akhirnya, kita tidak akan bisa bertahan hanya dengan sebuah roti dan hiburan. Mari bersama sama kita melihat dengan pandangan luas dan pola pikir yang lebih terbuka lagi. Kita bisa bekerja lebih keras dan membuktikan bahwa kita ini masyarakat yang cerdas dan patut mendapatkan hal yang jauh lebih baik dari pada "roti dan sirkus".