Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar Mycobacterium menginfeksi paru-paru, tetapi dapat juga menginfeksi pada organ tubuh lainnya. Penyakit tuberkulosis termasuk dalam airborne disease yang berarti penyakit ini menular melalui udara. Gejala yang dirasakan oleh penderita tuberkulosis adalah batuk yang terus menerus disertai keluarnya dahak selama 3 minggu atau lebih, sesak napas, nyeri dada, badan lemas, dan penurunan nafsu makan.
Mycobacterium dikeluarkan oleh penderita tuberkulosis ketika batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi berasal dari orang dewasa yang menderita tuberkulosis. Ketika batuk, Mycobacterium dikeluarkan ke lingkungan udara sekitar, udara tersebut kemudian terhirup melalui saluran pernapasan mulai dari hidung hingga ke paru-paru. Mycobacterium masuk ke paru-paru kemudian terakumulasi dan berkembang menjadi banyak, terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah. Bahkan 22 dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan infeksi pada organ tubuh lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan organ lainnya meskipun yang terbanyak adalah mengenai paru-paru.
Tuberkulosis menjadi penyebab utama kematian di antara semua penyakit menular lainnya di dunia dan WHO melaporkan bahwa pada tahun 2010 terdapat 1,1 juta kematian karena TBC. Indonesia merupakan negara nomor tiga dengan angka kejadian TBC paling tinggi di dunia, pada tahun 2017 ditemukan sekitar 420.994 kejadian TBC dengan penderita laki laki tiga kali lebih banyak dari perempuan. Berdasarkan data dari Global TB Report 2021, diperkirakan terdapat 824.000 kasus tuberkulosis di Indonesia. Akan tetapi, penderita tuberkulosis yang berhasil diidentifikasi, diobati, dan dilaporkan ke dalam sistem informasi nasional hanya terdapat 393.323 atau 48% dari perkiraan. Masih terdapat sekitar 52% kasus tuberkulosis yang belum ditemukan atau sudah ditemukan tetapi belum dilaporkan.
Faktor risiko penyakit tuberkulosis adalah usia, jenis kelamin, penyakit penyerta seperti HIV atau diabetes, polusi udara, alkohol, penggunaan obat imunosupresan, dan asap tembakau. Faktor sosial ekonomi seperti pekerjaan, tingkat pendidikan, dan perilaku sosial juga berperan sebagai faktor risiko tuberkulosis. Diantara faktor risiko tersebut, salah satunya yang menjadi masalah adalah terkait pengetahuan masyarakat terhadap tuberkulosis. Alasan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang tuberkulosis diantaranya, pertama adalah kurangnya pendidikan kesehatan. Banyak masyarakat, terutama di daerah dengan akses terbatas ke fasilitas kesehatan dan pendidikan, mungkin tidak memiliki akses ke informasi yang tepat tentang tuberkulosis. Pendidikan kesehatan yang kurang bisa menyebabkan ketidakpahaman tentang penyebab, gejala, penularan, dan pencegahan tuberkulosis.
Kedua adalah adanya stigma masyarakat terkait tuberkulosis. Stigma sosial yang terkait dengan tuberkulosis dapat membuat orang enggan mencari informasi atau pengobatan. Orang yang terkena tuberkulosis atau keluarganya mungkin merasa malu atau diisolasi, yang bisa menghambat penyebaran informasi tentang penyakit ini. Ketiga adalah kurangnya kampanye pendidikan, kurangnya upaya pemerintah dan organisasi kesehatan untuk mengedukasi masyarakat tentang tuberkulosis dapat menyebabkan rendahnya pengetahuan. Kampanye pendidikan yang efektif dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat.
Keempat adalah mitos dan disinformasi yang salah tentang tuberkulosis, menyebar di masyarakat, seperti kepercayaan bahwa tuberkulosis hanya menyerang orang miskin atau bahwa tidak ada pengobatan yang efektif. Ini bisa memperburuk situasi dengan menghalangi pencarian perawatan yang tepat. Kelima adalah ketidakmampuan untuk mengenali gejala, orang mungkin tidak mengenali gejala tuberkulosis atau menganggapnya sebagai penyakit lain yang lebih umum, seperti flu atau batuk biasa. Akibatnya, diagnosis dan pengobatan tuberkulosis bisa tertunda. Terakhir adalah terkait masalah akses ke perawatan kesehatan, di beberapa wilayah, terutama di pedesaan dan daerah terpencil, akses ke fasilitas kesehatan yang tepat mungkin sulit. Hal ini bisa menyebabkan penundaan dalam mencari diagnosis dan perawatan.
Untuk mengatasi rendahnya pengetahuan masyarakat tentang tuberkulosis, diperlukan upaya berkelanjutan dari pemerintah, organisasi kesehatan, dan masyarakat sipil. Ini termasuk kampanye pendidikan yang efektif, meningkatkan akses ke perawatan kesehatan, mengatasi stigma sosial, dan memastikan bahwa informasi yang akurat dan terbaru tentang tuberkulosis tersedia untuk semua orang. Dengan upaya bersama, pengetahuan masyarakat tentang tuberkulosis dapat ditingkatkan, yang pada akhirnya akan membantu dalam pencegahan, diagnosis dini, dan pengobatan yang lebih baik untuk penyakit ini.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberkulosis merupakan langkah krusial dalam upaya pencegahan, diagnosis dini, dan pengobatan yang efektif. Beberapa upaya atau langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tuberkulosis diantaranya, pertama adalah melakukan kampanye pendidikan kesehatan, dilakukan secara berkala dengan menggunakan berbagai media, seperti televisi, radio, poster, dan media sosial, untuk menyebarkan informasi tentang tuberkulosis serta dalam penyampaiannya dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan relevan dengan budaya lokal.
Kedua adalah melakukan sosialisasi di sekolah, mengintegrasikan materi tentang tuberkulosis dalam kurikulum sekolah untuk meningkatkan pengetahuan anak-anak tentang penyakit ini dan dengan mengajak dokter atau perawat untuk memberikan presentasi tentang tuberkulosis di sekolah-sekolah. Ketiga adalah mengadakan pelatihan tenaga kerja dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan terkait tuberkulosis pada tenaga kesehatan sehingga tenaga kesehatan yang bekerja di pusat kesehatan memiliki pengetahuan yang memadai tentang tuberkulosis dan mereka dapat memberikan informasi yang akurat baik kepada pasien maupun kepada masyarakat.
Keempat adalah menjalin kemitraan dengan organisasi masyarakat, seperti kelompok agama, dan pemimpin lokal untuk menyebarkan informasi tentang tuberkulosis. Keenam adalah menangani stigma sosial, dengan membuat sosialisasi untuk memberi pengetahuan bahwa tuberkulosis bukanlah penyakit yang harus disembunyikan atau menjadi sumber stigma sosial serta dengan menceritakan kisah-kisah sukses dari individu yang sembuh dari tuberkulosis untuk menginspirasi masyarakat sehingga tergugah untuk lepas dari stigma yang buruk.
Keenam adalah memberikan akses mudah untuk tes dan perawatan tuberkulosis, seperti transportasi untuk orang-orang yang harus berkunjung ke fasilitas kesehatan, tetapi terhalang jarak serta biaya. Ketujuh adalah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk menyebarkan informasi tentang tuberkulosis, seperti aplikasi seluler yang memberikan informasi tentang gejala, diagnosis, dan pengobatan tuberkulosis. Kedelapan adalah melakukan kampanye deteksi dini tuberkulosis, dengan memberitahu pentingnya mencari perawatan medis segera jika seseorang mengalami gejala tuberkulosis, seperti batuk berkepanjangan, demam, dan penurunan berat badan yang tidak wajar.
Kesembilan adalah memberikan informasi yang akurat dengan berdasarkan bukti ilmiah serta dapat dipercaya oleh masyarakat. Terakhir adalah evaluasi dan umpan balik, dengan terus memantau efektivitas kampanye pendidikan dan mengumpulkan umpan balik dari masyarakat untuk memperbaiki pendekatan yang digunakan.
Langkah-langkah tersebut perlu dijalankan secara berkelanjutan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi kesehatan, masyarakat sipil, dan individu, agar pengetahuan masyarakat tentang tuberkulosis dapat terus meningkat, dan upaya pencegahan serta pengobatan dapat lebih efektif.
Pentingnya peningkatan pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberkulosis diantaranya, pertama adalah pencegahan yang lebih efektif, pengetahuan yang baik tentang tuberkulosis membantu individu mengenali gejala awal, mencari perawatan lebih cepat, dan menghindari penyebaran penyakit ke orang lain. Dengan demikian, peningkatan pengetahuan masyarakat dapat mengurangi angka infeksi tuberkulosis. Kedua adalah diagnosis dini, pengetahuan yang baik dapat mempercepat diagnosis tuberkulosis, yang penting untuk pengobatan yang lebih efektif. Semakin cepat tuberkulosis didiagnosis, semakin baik peluang kesembuhannya.
Ketiga adalah pengobatan yang efektif, dengan pengetahuan yang tepat, pasien tuberkulosis akan lebih mungkin untuk mematuhi pengobatan mereka dengan benar. Hal ini mengurangi risiko perkembangan tuberkulosis resisten obat dan penyebaran infeksi yang lebih luas. Keempat adalah mengatasi stigma sosial, pengetahuan yang akurat tentang tuberkulosis dapat membantu mengurangi stigma sosial yang terkait dengan penyakit ini. Hal ini dapat mendorong individu untuk mencari perawatan tanpa rasa malu atau diskriminasi.
Kelima adalah adanya partisipasi masyarakat dalam program pencegahan tuberkulosis, masyarakat yang terinformasi dengan baik lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam program pencegahan tuberkulosis, seperti vaksinasi dan pengobatan pencegahan, yang dapat mengurangi risiko terkena tuberkulosis.
Dalam keseluruhan, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang tuberkulosis adalah langkah kunci dalam upaya global untuk mengatasi penyakit ini. Ini tidak hanya meningkatkan kesehatan individu tetapi juga berkontribusi pada pengendalian tuberkulosis secara keseluruhan, mengurangi beban penyakit, dan mendukung pencapaian target global untuk pengendalian tuberkulosis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H