Mohon tunggu...
Dafa Alhafidz
Dafa Alhafidz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hamba Tuhan!

Kaizen!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengkodifikasian Al-Qur'an

13 Mei 2022   17:00 Diperbarui: 13 Mei 2022   17:01 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Al-qur’an dalam sejarahnya memiliki banyak sekali peristiwa dalam pengkodifikasiannya, di mulai dari proses menghafal, sampai di buku kan itu mengalami kejadian yang sangat panjang bagi sejarah umat Islam. Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu ketika datang wahyu, Rasulullah SAW langsung menghafal dan memahaminya . Dengan demikian Rasulullah SAW adalah orang pertama yang menghafal Al-Qur‟an. Tindakan Rasulullah SAW merupakan suri tauladan bagi para sahabatnya. Setelah menerima wahyu, Rasulullah SAW mengumumkannya di hadapan para sahabat dan memerintahkan mereka untuk menghafalnya (Munir, 2021).

Dan itu menjadi tradisi sekaligus sejarah dalam proses menghafal Al-qur’an bagi kaum Muslimin di seluruh dunia. Mengenai para penghafal al-quran pada masa Nabi ini, dalam kitab shahihn-nya, Al-Bukhori telah mengemukakan tentang tujuh penghafal al- quran dengan tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas‟ud, Salim bin Ma‟qil maula Abi Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda‟.9 Penyebutan para penghafal yang berjumlah tujuh atau delapan orang di atas, tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan Sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan al-quran dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalkannya (Munir, 2021).

Setelah masa semakin berkembang, Al-qur’an mengalami perkembangan dalam pemeliharaannya. Rasulullah SAW mangangkat para penulis wahyu al-quran (asisten) dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali Muawiyah, Ubay bin Ka‟ab dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan menuliskannya dan menunjukkan, di mana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu, antara lain adalah: Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka‟ab, Mu‟awiyah bin Abi Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As. Tulisan ayat-ayat al- quran yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah SAW. Mereka pun masing-masing menulis untuk disimpan sendiri. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam satu mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti sekarang ini), melainkan masih berserakan. (Munir, 2021).

Dalam bergantinya pemerintahan, setelah Rasulullah wafat dan digantikan oleh Khalifah Abu bakar siddiq. Namanya ialah Abdullah ibn Abi Quhaifah Attamini. Di zaman pra islam bernama Abdullah ibnu Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Julukannya Abu Bakar (bapak Pemagi) karena dari pagi-pagi betul memeluk agama islam, gelarnya ash-Shiddiq karena ia selalu membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ Mi’raj (Zainudin, 2015).

Pada tahun pertama pemerintahannya, Abu Bakar ra. dihadapkan pada sekelompok orang murtad melakukan kekisruhan yang mengantar pecahnya Perang Yamamah pada tahun 12 H. Perang tersebut pada akhirnya dapat dimenangkan oleh kaum Muslimin, meski tetap menimbulkan dampak negatif, yakni banyaknya penghafal al-Qur‟an dari kalangan sahabat yang gugur. Menurut riwayat yang masyhur, sekitar 70 orang pengahafal al-Qur‟an gugur dalam pertempuran tersebut. Padahal sebelumnya, serangkaian perang pun pernah terjadi dan mengakibatkan hal yang sama, yaitu dalam pertempuran di Bi‟ru Ma‟unah 17 Keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Prihatin atas kondisi yang bila dibiarkan akan mengancam keberlangsungan al-quran, Umar bin Khattab segera menemui Abu Bakar selaku khalifah pada masa itu yang ketika itu sedang dalam keadaan sakit. Umar mengusulkan untuk segera menghimpun atau mengumpulkan al-quran yang sementara ini berserakan di sejumlah sahabat dan dihafal, karema khawatir akan lenyap seiring dengan banyaknya huffazh yang meninggal.

Setelah musyawarah di lakukan, Abu Bakar ragu untuk mengambil keputusan yang di ajukan oleh Umar Bin Khattab. Abu Bakar mengatakan kepada Umar, “Mengapa aku harus mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?” Barangkali ia takut terseret oleh ide-ide dan gagasan-gagasan yang membawanya untuk menyalahi sunah Rasul SAW serta membawa kepada bid‟ah. Akan tetapi ketika ia menganggap bahwa hal tesebut adalah sangat penting demi kelestarian kitab al-quran dan demi terpeliharanya dari kemusnahan dan perubahan, dan ketika ia meyakini bahwa hal tersebut tidaklah termasuk masalah yang menyalahi ketentuan dan bid‟ah yang sengaja dibuat-buat, maka ia beritikad baik untuk mengumpulkan al-quran. Akhirnya ia mengutus Zaid bin Tsabit mengenai masalah ini (Munir, 2021).

Dalam pemilihan tugas untuk mencatat Al-qur’an Ada beberapa hal yang mengantarkan pada pilihan mumtaz mengembankan tugas kodifikasi ini pada Zaid bin Tsabit, yaitu Abu Bakar al- Shiddiq mencatat kualifikasi dirinya (Zaid) sebagai berikut: 1) Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya; 2) Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakar member pengakuan secara khusus dengan kata-kata, „Kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada Anda.‟; 3) Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran; 4) Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu; dan 5) Zaid salah seorang yang bernasib mujur di antara beberapa orang sahabatyang sempat mendengan bacaan al-Quran Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadhan (Munir, 2021).

Setelah proses demi proses pengumpulan Al-qur’an, lalu pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan Al-qur’an mulai di susun menjadi mushaf. Nama lengkapnya ialah Ustman ibn Affan ibn abdil Ash ibn Umayyah dari pihak Quraisy (Zainudin, 2015). Pada masa beliau perluasan wilayah melebar ke berbagai jazirah arab dan tentunya Al-qur’an ikut tersebar dan dinikmati oleh kaum muslimin. Akan tetapi, dampaknya adalah ketika mereka membaca Al- Qur‟an, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al- yaman (Munir, 2021). Lalu kemudian, khalifah Utsman mengirim utusan kepada Hafshah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya), dan Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu padanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit al-Anshari, Abdullah bin az-Zubair, Said bin al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam (tiga orang Quraisy). Lalu ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraisy, karena al-quran turun dalam dialek bahasa mereka (Munir, 2021).

Dan sampai sekarang dengan berbagai transformasi pengumpulan dari masa ke masa sampai kepada kita dengan bacaan yang mudah di baca dan harapannya kita bisa mengamalkan isi Al-qur’an dengan mudah.

Daftar Pustaka

Arif, S. (2016). Tekstualisasi al-Qur’an: Antara Kenyataan dan Kesalahpahaman. Tsaqafah, 12(2), 325–352. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v12i2.759

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun