Mohon tunggu...
Aditya Dwiki
Aditya Dwiki Mohon Tunggu... Konsultan - Pribadi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Superman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Es dan Kambing Jadi Perantara ke Kampus

21 September 2021   17:29 Diperbarui: 21 September 2021   17:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Sumber: Times Indonesia

Suara membelahak terdengar sesekali dari pria berkacamata, siang itu. Rambutnya yang terlihat menipis tertutup penuh oleh uban. Meski secara fisik tampilannya menunjukkan usia yang mulai menua, namun ternyata tidak begitu dengan semangat dan pemikirannya.

Pria itu tetap sangat energik saat berbicara. Pun dari penjelasan-penjelasannya masih informatif serta ilmiah. Ia: Profesor Sarkadi. Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bidang PPKN.

"Saya tukang jual es yang mengajar di kampus negeri," ujar Prof Sarkadi sambill tertawa riuh, Kamis siang.

Kiranya memang betul apa yang disampaikan Prof Sarkadi. Pangkat tertinggi dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan yang diraihnya kini bukanlah semudah membalikkan tangan.

Prof Sakardi yang dulu adalah sosok mungkin bagi sebagian orang dianggap 'kelompok biasa saja'. Orang yang tidak disangka sebagai intelektual dan berpiikiran 'tak ada apa-apanya'.

"Saya lahir dan hidup dari orang tua maupun keluarga yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Tidak ada keinginan buat senang-senang," ujar Prof Sarkadi.

Kemiskinan, ketidaknyamanan kondisi hidup, serba terbatas, membuat Prof Sarkadi sejak kecil bertekad harus mampu melakukan perubahan. Baginya, hidup dapat diubah menjadi lebih baik jika punya keinginan dan serius melakoni mencapainya. Intinya: tidak menyerah dan jangan mengeluh, kata Prof Sarkadi.

Sewaktu kecil, Prof Sarkadi memiliki jalan terjal dalam dunia anak-anak seusianya. Ketika kawan-kawan sebayanya saat masih SD bisa bermain bebas, tidak begitu dengan Prof Sarkadi.

Ia harus membawa es mambo ke sekolahnya. Dagangan es mambo itu dijajakan ke kawan-kawannya ketika jam istirahat sekolah tiba. Peluh dan tetesan air es menyatu menjadi satu di baju sekolah dikenakan Prof Sakardi kecil.

Dunia bermain anak-anak Prof Sakardi kecil begitu sempit. Bila es mambo tidak habis dijajakan di sekolah, maka Prof Sakardi langsung berkeliling kampung menjualnya. Tanpa dulu berganti pakaian sekolah. Yang penting ia dapat membantu meringankan beban ekonomi orang tuanya. Sebab satu hal: Prof Sakardi ingin terus belajar dan sekolah. Tak boleh berhenti di 'persimpangan jalan'.

Itulah yang membuat jiwanya bergolak. Hidup yang sulit tidak boleh terus membuntuti. Suatu saat harus berganti kebahagiaan.

Tidak hanya menjual es mambo, Prof Sakardi kecil pun ikut mengurus ternak kambing milik tetangganya. Bau kambing ternak menjadi 'rumah kedua' baginya supaya sekolah tidak 'putus'.

Keadaan yang tidak semestinya untuk anak-anak tak membuat lantas Prof Sakardi ketinggalan pelajaran. Sebaliknya: Prof Sakardi adalah anak yang cerdas. Ia tak ketinggalan urusan pelajaran di sekolah dan mengaji.

Ketika SMP dan SMA, Prof Sakardi remaja ikut kakaknya yang berprofesi sebagai supir bus di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Perjuangan hidup masih terus menggelayuti hidup Prof Sakardi remaja.

Di rumah kakaknya, Prof Sakardi harus membantu membersihkan tempat tinggal, menimba air di sumur, sampai 'wajib' mengisi minyak tanah untuk penerangan. Saat itu kondisi di lingkungan rumah kakaknya belum masuk aliran listrik. Kegelapan menyelimuti keseharian Prof Sakardi remaja sewaktu belajar. Namun: cita-cita & semangat untuk meruntuhkan kesusahan hidup dalam diri Prof Sakardi tak urung ikut temaram. Ia tetap gigih dalam menempuh pendidikan.

Hasilnya: sejak SMP hingga lulus SMA, Prof Sakardi selalu juara kelas. Peringkat kelas terbaik selalu disandang Prof Sakardi remaja. Kepintaran dimiliki Prof Sakardi remaja membuatnya diusulkan SMA-nya masuk ke kampus UNJ (dulu IKIP Jakarta). Prof Sakardi remaja berhasil masuk UNJ tanpa tes, melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Perlahan, cahaya terang kehidupan mulai menyinari diri Prof Sakardi.

Prof Sakardi memang seorang manusia yang cerdas. Kekokohan hatinya sejak kecil yang giat belajar dan sekolah, membentuk karakternya tidak ingin melepaskan diri dari dunia pendidikan. Sewaktu kuliah, Prof Sakardi mampu menyelesaikan hanya 4,5 tahun dan menjadi lulisan terbaik.

Sama dengan asanya ketika kecil yang ingin terus belajar dan sekolah, begitu telah di universitas pun Prof Sakardi tak pupus kecintaan pada dunia pendidikan. Lulus S1, Prof Sakardi langsung melanjutkan strata pendidikan selanjutnya (S2 dan S3).

Hingga akhirnya kampus UNJ pada akhir tahun lalu mengangkat dan menetapkan Prof Sakardi sebagai Guru Besar Pembelajaran PPKN. Berbagai jabatan juga telah pernah diemban Prof Sakardi di UNJ. Tak hanya jadi Dosen, ia juga pernah sebagai Ketua Prodi dan Wakil Dekan.

Prof Sakardi menepati janjinya untuk mengubah hidup, menghancurkan derita. Prof Sakardi menjadi teladan seorang Guru di universitas maupun kehidupan.*

*) Laporan Kontributor: RDWN, Jakarta

*) Penulis: HAL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun