Mohon tunggu...
Aditya Dwiki
Aditya Dwiki Mohon Tunggu... Konsultan - Pribadi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Superman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Panggilan Hati, Kasim Mengabdikan Diri untuk Petani

13 September 2021   06:56 Diperbarui: 13 September 2021   06:56 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Usia semakin senja, tenaga terus berkurang, kulit mulai keriput tapi semangat dan harapan tak pernah surut. Adalah Mohamad Kasim Arifin, seorang pria kelahiran tahun 1938 asal Langsa, Aceh Timur. Usia boleh tak lagi muda, tapi semangat terus membara tak pernah reda termakan masa.

Kasim menghibahkan hidupnya untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) selama 15 tahun. Pengembaraan Kasim dimulai 1964, Kasim mendapat penugasan Pengerahan Tenaga Mahasiswa, cikal bakal program yang saat ini lebih dikenal dengan istilah KKN. Kasim dikirim ke Waimital, sebuah desa di Pulau Seram, Maluku, guna mengemban tugas memperkenalkan program Panca Usaha Tani.

Larut dalam pengabdian, KKN yang seharusnya hanya dijalani beberapa bulan, Kasim 'tenggelam' dalam pengabdian selama 15 tahun di Waimital. Hati nurani Kasim pada akhirnya terketuk untuk mencurahkan semua pengetahuan dan ilmu yang ia dapat selama menimba ilmu di IPB untuk masyarakat setempat. Terlebih setelah  dirinya berjumpa dengan sebuah keluarga petani miskin.

Kasim menjalani kehidupan sebagai seorang pria dengan keseharian memakai sandal jepit dan baju lusuh, setiap harinya ia berjalan sejauh puluhan kilometer bersama para petani melampaui pematang sawah. 

Kasim adalah super hero bagi petani di sana, dia menjadikan para petani sejahtera di atas lahan garapannya, menjadikan petani mandiri, membuka jalan desa, membangun lahan garapan baru, hingga membuat irigasi sendiri. Dan yang paling istimewa dari semuanya, Kasim tak pernah mengharapkan bantuan satu rupiah pun dari pemerintah.

Kesederhanaan, kedermawanan dan memikiki tutur kata yang lembut kini melekat pada sosok Kasim di mata masyarakat setempat. Julukan Antua, tersemat pada dirinya sebagai julukan orang yang dihormati di Waitimal dan Maluku. Gelar kehormatan itu didapuknya atas keberhasilan Kasim menumbuhkan semangat gotong royong dan saling membantu atas sesama.

Saat awal dirinya tidak pulang semenjak masa KKN yang sudah lewat dari waktu semestinya, hingga diketahui bahwa Kasim memutuskan untuk menetap di Waimital, Kasim kerap kali dianggap sebagai sosok yang hilang. 

Di saat teman-temannya sudah menyelesaikan pendidikan, menjadi sarjana, dan meraih kehidupan yang berhasil sebagai seorang pejabat atau pengusaha, Kasim masih tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk menetap di Waimital sebagai seorang petani yang bersahaja.

Bagaimana dengan orang tua Kasim?. Bukan tanpa usaha, orang tua Kasim yang berada di Aceh sudah membujuk Kasim untuk pulang.

Orang nomor satu di IPB yang kala itu masih dijabat Andi Hakim Nasoetion juga kerap memanggilnya untuk pulang dan menyelesaikan pendidikan, namun Kasim bergeming.

Sang rektor lalu mengirimkan sahabatnya, Saleh Widodo untuk menjemput Kasim. Akhirnya dengan berat hati, Kasim pulang ke Bogor, kota tempat ia menimba ilmu masih dengan hanya menggunakan sandal jepit dan baju yang lusuh.

Kasim yang mengaku tidak memiliki keahlian menyusun skripsi akhirnya dibantu  teman-temannya yang memutuskan untuk mengangkat kisah perjuangan Kasim di Waimital sebagai pembahasan Skripsi.

Dengan nada yang khas, ramah, penuh hayatan, Kasim perlahan menceritakan perjalanan membangun Waimital kepada teman-temannya yang mendengarkan dengan penuh haru. Mereka menganggap Kasim sebagai sosok yang memberikan bukti nyata akan pengabdian kepada masyarakat melampaui makna dari penugasan yang diterima lewat program KKN itu sendiri.

Pagi itu cukup cerah, matahari terbit tak pernah mengingkari waktu, 22 September 1979, hari wisuda tiba. Kasim nyatanya tidak berharap banyak, apa yang bisa diharapkan dari wisuda seorang mahasiswa yang seharusnya sudah berlangsung selama 15 tahun sebelumnya. 

Memutuskan untuk duduk di barisan kursi paling belakang, namun hal tak terduga justru terjadi. Begitu Kasim datang, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Dedikasi yang Kasim lakukan membuat banyak orang sangat menghormati dirinya.

Tak melupakan tekad yang ia miliki sejak awal, selepas wisuda Kasim diketahui kembali ke Waimital dan meneruskan hal-hal yang ingin ia bangun, padahal saat itu dirinya diketahui mendapat berbagai tawaran pekerjaan yang menjanjikan.

Dari sosok Kasim kita belajar banyak tentang arti pengabdian terhadap hidup. Nafas dan jiwa raga ini dihibahkan tanpa pamrih. Sekali lagi, di ujung tulisan ini, penulis selalu berharap "Panjang Umur Untuk Hal-Hal Baik". Terima kasih Bapak Kasim. Dedikasimu untuk negeri ini patut banyak dicontoh penerus negeri.  

Panjang umur dan sehat selalu Antua. (*)

Sumber : 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun