Tak jarang pula Pak Febri memantau kesiapan sarana belajar-mengajar. Lokasinya menggunakan aula kantor Desa Kuala Rosan. Ia periksa kelengkapan bangku bagi 'siswanya'. Papan tulis. Penghapus spidol. Meja Guru dan lainnya.
Semua dilakukannya bila tidak ada tugas utama harus diselesaikan sebagai Bhabinkamtibmas Desa Kuala Rosan.
Pak Febri tidak pernah menggerutu. Ia secara ikhlas melakoni peran Guru sukarela. Padahal tanggung jawabnya sebagai Bhabinkamtibmas tidak ringan. Memastikan situasi di desa aman dari gangguan pelanggaran hukum.
Pak Febri tidak pernah memungut biaya dari para warga desa yang antusias mengikuti pembelajaran darinya. Ia tidak juga memanfaatkan 'jabatan lainnya' sebagai Guru sukarela untuk memperoleh keuntungan keuangan.
"Yang penting masyarakat di sini pandai-pandai. Walaupun orang desa, tapi IQ-nya jangan sampai kalah sama yang tinggal di kota dan dididik di sekolah formal," kata Pak Febri, Jumat (10/9/2021).
Memang waktu belajar dari 'Guru' Pak Febri masih belum tetap. Kadang 2 kali, bisa juga 3 kali dalam sepekan, pernah juga hanya 1 kali. Tapi dapat dimaklumi, Pak Febri juga punya tugas mulia lainnya: Polisi dan Bhabinkamtibmas Desa Kuala Rosan.
Namun lazimnya, Pak Febri memulai menjadi Guru sukarela lalu memberikan pembelajaran sekitar jam 10.00 WIB atau 10.30 WIB dan selesai jam 12.00 WIB.
Berprofesi menjadi Guru sukarela di desa terpencil bukan karena tekanan atau paksaan. Pak Febri berbuat itu karena gundah mengetahui banyak warga Desa Kuala Rosan yang buta huruf.
Kemudian secara inisiatif Pak Febri akhirnya membuka kelas belajar-mengajar kepada warga desa. Ia juga memohon izin ke pimpinannya agar 'direstui'.
Cara Pak Febri dalam menyampaikan materi belajar membaca, menulis maupun berhitung kepada warga desa yang buta huruf pun terlihat bagaikan Guru profesional.
Penuh kesabaran dalam membimbing serta mencari metode yang mudah diserap warga agar dapat dipahami mereka.