02 April 2020
Tidak ada hal yang bagus dan indah yang bisa keluar dari kondisi "Under Pressure" atau di bawah tekanan.
Hal ini mengingatkan saya pada saat duduk di kelas 4 SD, waktu itu mata pelajaran "Keterampilan", karena hari itu hari Sabtu dimana waktu itu anak-anak SD masih masuk sampai hari Sabtu, maka kami semua sudah tidak fokus lagi pada mengerjakan tugas keterampilan yang diberikan oleh guru tetapi fokus kepada "Nanti pulang sekolah mau main di mana". Â
Dengan kondisi kelas besar isi 50 anak (ini hal yang lumrah pada jaman saya SD), dan semua anak berpikir akan hal yang sama, maka gaduh-lah kelas kami hingga akhirnya sampai bel pelajaran berakhir tidak ada satu anak pun yang menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Guru Keterampilan. Kami berharap nanti tugas dibawa pulang dan kami bisa mengerjakannya di rumah.
Tetapi Guru Keterampilan kami berkata lain, "Semuanya harus mengerjakan tugas keterampilan sampai selesai sesuai dengan contoh yang sudah diberikan, apabila belum selesai tidak boleh pulang". Terkejut dan kecewalah kami yang ada dalam kelas itu. Harapan-harapan dan rencana-rencana kami berantakan karena ternyata kami tidak boleh pulang jika tugas keterampilan belum selesai dikerjakan dan dikumpulkan ke depan kelas.
Dengan inisiatif anak kelas 4 SD sejadi-jadinya kami kerjakan Tugas Keterampilan di bawah tekanan dan di bawah ancaman Guru keterampilan kami, kami kerjakan dengan berat hati dan terpaksa kami kerjakan, kami berada pada "Survival Mode" kami, "ngerjakan atau nggak boleh pulang".
Sekitar 20-30 menit, akhirnya ada beberapa anak mulai mengumpulkan tugasnya di depan, berhubung saya duduk di depan sendiri, saya bisa melihat hasil tugas yang mereka kerjakan, semuanya dikerjakan "ala kadarnya", "Sing penting mari" ucap teman sebangku saya. Akhirnya itu juga yang saya lakukan "Sing penting mari".Â
Akhirnya apa? Semua tugas yang diberikan hasilnya luar-biasa berantakan, karena kami semua mengerjakannya "Di bawah tekanan", kami semua merasa "terancam", "Survival Mode" kami yang bekerja, bukan hati kami yang bekerja, karena hati dan rasa tidak bisa "diancam: tidak bisa "dipaksakan", seperti halnya mengatakan "HARUS PAKAI HATI", kemudian "hati" dan "rasa" muncul.
Pilihan.
Jadi apa yang diharapkan dari "output" ini adalah apa yang dilakukan. Kalau dilakukan dengan terpaksa dan di bawah tekanan maka tidak ada yang bagus yang bisa keluar, hanya sebuah karya "yang terpaksa". Jika itu keluar dari "hati" dan "rasa" maka hasilnya adalah sebuah "Masterpiece".
Seperti seorang seniman, pasti mereka menunggu "wangsit" sebelum bisa menelurkan karya seni mereka. Coba kita paksa seniman untuk membuat karya seni dengan "deadline" yang sudah kita tentukan, pasti hasilnya bukan "Masterpiece", pasti hasilnya biasa-biasa aja.
Kemudian bagaimana jika disebuah lowongan kerja dituliskan "mampu bekerja di bawah tekanan". Ya sebenarnya ini bahasa halus dari HRD bahwa anda harus tahan walaupun di beri "tekanan" dan tidak memutuskan untuk keluar kerja apabila "tekanan" ini berat sekali. Kemudian apakah anda mau? Ya itu pilihan, kembali kepada anda lagi sedang dalam "Survival Mode" atau.....
Jadi anda mau hasilnya seperti apa. Hasil "Dipaksa" atau "Dari Hati".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H