Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Jokowi Milik Semua Orang, Istana adalah Rumahnya

6 Maret 2018   05:05 Diperbarui: 6 Maret 2018   05:52 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi berswafoto bersama para pemuda di Istana (foto: ANTARA/Wahyu Putro A)

Presiden RI merupakan sebuah jabatan kenegaraan, yang berada di atas semua golongan dan milik semua orang --warga negara. Istana negara adalah rumah warga (negara) yang didiami oleh 'kepala'nya. Jika pertemuan seorang presiden dengan warganya dipandang dengan sinis, yang harus dipertanyakan bukanlah kredibilitas presiden itu sebagai pribadi, namun bagaimana kita memahami budaya politik dan ketatanegaraan.

Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan sejumlah pimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Istana Kepresidenan tanggal 1 Maret 2018 kemarin dipersoalkan sejumlah kalangan. Di antaranya, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) yang melaporkan pertemuan itu ke Ombudsman RI (ORI).

ACTA menyoroti pertemuan itu sebagai maladministrasi, di mana muncul anggapan dalam pertemuan Presiden dengan Pimpinan PSI itu ada pembahasan terkait pemenangan Pemilu Presiden. Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera bahkan menilai Jokowi melanggar etika dan norma, karena pertemuan itu dilakukan di hari dan jam kerja di Istana Negara (Tribunnews.com, 2/3/2018).

Politikus Partai Golkar M Misbakhun dengan lebih cermat menanggapi bahwa gugatan ACTA itu salah alamat. Misbakhun menjelaskan, Ombudsman merupakan lembaga untuk menampung semua pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan publik oleh negara.

Publik seperti diingatkan oleh tanggapan Misbakhun, bahwa Istana Negara bukanlah tempat pelayanan publik, melainkan tempat bagi presiden menjalankan kegiatan protokoler kenegaraan, termasuk menerima tamu dalam urusan formal maupun informal. Penggunaan fasilitas negara seperti istana bagi kepentingan presiden sebagai kepala negara, bukanlah domain aduan yang menjadi kewenangan Ombudsman.

Agaknya, "sensitif pemilu" memang sedang melanda partai-partai yang tidak mendukung Jokowi. Karena elektabilitas orang nomer satu di Indonesia ini masih tinggi, maka salah satu langkah untuk meruntuhkannya adalah dengan membuat partai-partai pendukungnya pincang. Minimal, memecah konsentrasi partai koalisi Jokowi dengan "gosip-gosip" yang tidak elegan.

Khusus untuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI), keberadaannya sebagai partai milenial jelas membuat deg-degan partai yang lain, terutama yang "lebih senior". Muncul kecenderungan partai-partai lama takut PSI akan menguasai pasar pemilihan. Ibarat Samsung dan Apple yang kewalahan menghadapi munculnya Si Raja ponsel baru, Xiaomi.

Yang terbaru, giliran Sekjen PSI Raja Juli Antoni yang akan dilaporkan ke Bareskrim oleh Waketum Partai Gerindra Fadli Zon, karena dianggap telah menghinanya sebagai 'tukang bikin hoax'. Raja pun cukup menjawab dengan,"..saya terharu nih menunggu."

'Rencana tinggal rencana, yang terjadi justru sebaliknya'. Dari itu semua, justru PSI lah yang diuntungkan dengan pemberitaan yang ramai dan terviral. PSI justru semakin dikenal luas oleh publik.

Istana Negara sebagai 'Rumah'

Syahdan, kita kembali ke istana...

Istana negara merupakan "rumah" bagi kepala negara. Dan layaknya rumah, secara hukum maupun protokoler, boleh digunakan bagi keperluan formal maupun pribadi.

Seperti dahulu kita ingat di era Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur), putri bungsunya pernah mengadakan pesta ulang tahun di Istana. Tercatat, acara tersebut dihadiri oleh sekitar 250 orang dari berbagai kalangan.

Mahfum, budaya politik yang dibangun dalam era reformasi hendak menghilangkan kesan angker pada rumah bekas kediaman penguasa kolonial, juga orde lama, dan orde baru itu. Pemahaman inilah yang harus disadari oleh masyarakat, sehingga tak mudah terpancing oleh isu dan manuver politik yang tidak bermutu, cenderung mencari sensasi dan membangun opini negatif.

Mari kita mengingat-ingat, sebelum ini pun Presiden Jokowi pernah menerima Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam waktu terpisah juga pernah menerima Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketum PAN Zulkifli Hasan. Pimpinan PKS dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto pun pernah diterima oleh Presiden di Istana. Dan Senin ini (5/3), Presiden mengundang pengurus Perindo yang diketuai Hary Tanoesoedibjo.

Jadi, itulah cara Presiden meningkatkan harmonisasi hubungan kepala negara dan pemerintahan dengan kekuatan politik yang ada. Pemerintahan yang merakyat, keamanan yang kondusif, masyarakat pun damai; mengapa perseteruan politik harus terus menjadikannya gaduh?

 "more noise than voice," kata Soegeng Sarjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun