'Keadaan kegentingan yang memaksa' sebagai syarat materiil dikeluarkannya Perppu harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas. Beberapa aturan yang muncul dalam undang-undang tersebut berpotensi pada hilangnya hak-hak sipil dalam berpendapat dan berekspresi; serta terputusnya jalur aspirasi, sebagai syarat mutlak dalam kerangka demokrasi. Bahkan, frase 'pemanggilan paksa' hingga 'penyanderaan' yang muncul dalam pasal-pasal UU MD3 ini patut dipandang sebagai pelanggaran terhadap kemerdekaan warga dan hak asasi.
Langkah ketiga, yang dapat dilakukan bersamaan dengan langkah kedua; pemerintah segera mengajukan agenda revisi UU MD3, untuk nantinya dibahas bersama dengan DPR. Kali ini, revisi UU menjadi inisiatif pemerintah, sebagai tanggapan atas situasi dan pandangan masyarakat umum dalam menyikapi UU yang disahkan.
Kali ini, pemerintah tidak boleh gagal lagi memainkan perannya yang sangat besar dalam mengimbangi kekuasaan legislatif, utamanya dalam pembahasan pasal-pasal yang mengandung kepentingan yang kuat dari DPR, serta merugikan dan mengganggu rasa keadilan masyarakat.
Pada tahap ketiga inilah, segala kekurangan dalam proses dan mekanisme legislasi itu dapat disempurnakan. Sebagai contoh, keterlibatan publik dalam usulan dan pembahasan tidak boleh hanya menjadi formalitas kosong.
Syahwat politik yang semata berfokus pada dorongan kekuasaan tanpa semangat keadilan dan kesejahteraan masyarakat, harus dihilangkan. Kepentingan-kepentingan partai --yang tak dapat ditampik keberadaannya--, dapat diakomodasi tanpa merugikan publik, dan sesuai dengan rambu konstitusi.
Sebagai penutup dan catatan penting yang harus dipahami. Persoalan undang-undang, adalah ihwal yang semestinya dapat diselesaikan sendiri antara para pemegang kekuasaan legislasi (pembuat undang-undang), dalam hal ini adalah DPR dan Pemerintah. Maka tetap elok, jika DPR bersama Pemerintah kembali duduk menyelesaikan masalahnya bersama, tanpa melempar akibat yang mereka buat itu pada masyarakat.
Janganlah "cuci tangan" dengan menyerahkan tanggung jawab, apalagi sekedar mendorong masyarakat untuk membawa hal ini kepada jalur konstitusi. Karena Mahkamah Konstitusi adalah jalan terakhir, dengan hukum sebagai harapan satu-satunya, untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan politik yang benar-benar tidak mampu untuk diselesaikan sendiri oleh para pemainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H