Revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3); sebuah 'drama politik produksi rumah rakyat' yang ramai menjadi tontonan, namun gagal menjadi tuntunan, dan menimbulkan kontroversi di masyarakat. Jika para negarawan itu sadar bahwa kekuasaan yang kini tengah dipegang semata titipan dari rakyat --sovereign, pemilik kedaulatan sebenarnya--, persoalan ini tidak akan terjadi dan berkembang menjadi bola liar.Â
Memperhatikan perkembangan yang terjadi, secara hukum, gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) memang menjadi solusi yang tepat. Namun dengan keberadaan Ketua MK dengan track-record yang meragukan, menjadi permasalahan tersendiri yang membuat publik saat ini layak hati-hati menempuh jalur konstitusi. Kalau MK masih menggunakan pertimbangan politik, maka sia-sialah pengajuan ke MK.
Kecuali, jika dorongan yang kuat dari publik berhasil membuat Ketua MK mundur dari posisinya, persoalan ini menjadi selesai --publik dapat langsung melakukan gugatan ke MK.
Solusi: Langkah Politik Segitiga
Drama politik ini bagaikan cinta segitiga (eksekutif-legislatif-yudikatif). Penulis tidak dapat menahan diri untuk menulis scene kecil ini sebagai gambaran: "yang di istana bisik-bisik, kepala rumah tangga tidak mengetahui; di gedung rakyat kadang klop, kadang walk-out; di rumah keadilan pun sang bapak main mata dengan bapak tetangga." Romantika politik yang membuat fenomena 'pelakor' dan romansa Dilan terasa receh --kata anak milenial.
Untuk itu, langkah politik lah yang paling tepat untuk menyelesaikannya. Bola panas yang kini bergulir ke Pemerintah, dapat dijawab dengan langkah-langkah berikut.
Langkah pertama, dan yang sudah dilakukan oleh Presiden, adalah dengan tidak menandatangani revisi UU MD3. Ini adalah langkah yang tepat, sebagai penegasan sikap Presiden atas penolakan pasal-pasal kontroversi, dan keberpihakannya pada masyarakat.
Presiden mengambil peran sentral, meskipun dipandang kurang elegan, karena sidang legislasi nyatanya memang harus melibatkan pemerintah (yang diwakilkan oleh Menkumham) bersama DPR dalam pembahasannya.
Namun hal ini mungkin saja terjadi, di mana menteri yang bersangkutan sengaja/tidak sengaja, tidak melaporkan substansi maupun perkembangan sidang yang ternyata pada prinsipnya tidak dikehendaki oleh Presiden, namun sudah selesai dibahas dan disetujui oleh DPR dan menteri yang bersangkutan, sehingga tetap ditolak oleh Presiden.
Langkah kedua, karena setelah 30 hari UU MD3 yang telah disahkan tersebut otomatis berlaku --dengan atau tanpa tanda tangan Presiden--, maka untuk menghambat berlakunya undang-undang tersebut, dan menghindari penyidangan gugatan di MK, Presiden harus berani mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pembatalan UU MD3.
Dalam hal ini, Presiden harus mengakui lemahnya kontrol dan koordinasi yang dilakukan dengan Menkumham yang ditunjuk mewakili pemerintah dalam pembahasan revisi UU tersebut.