Fenomena yang terjadi pada kelas menengah telah menunjukkan karakter lintas-kelas, menuntut identitas sosial, memainkan ekspresi sosial, politik dan budaya, dengan mengubur dalam-dalam ideologi. Maka tidak heran ‘Aksi Bela Islam’ di akhir tahun demikian meriah, dengan kenyamanan mereka bergandengan tangan bersama kelompok-kelompok (yang awalnya mereka tolak) vigilante semacam Front Pembela Islam (FPI), atau radikal seperti Jamaah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Memperhatikan fenomena yang terjadi di beberapa negara, seperti Brexit dan terpilihnya Trump, anatomi populisme kanan di Amerika dan Eropa tersebut terlihat sama dengan populisme Islam yang berkembang di Indonesia saat ini. Semangat kelas telah berkembang dalam lensa buram yang menunjuk Rizieq Shihab sebagai pemimpin de facto gerakan Islam, dan mengangkat populisme sebagai satu-satunya jalan kesejahteraan dan penjaga moral. Tanpa disadari, ‘payung biru’ Joko Widodo yang mengiringi langkah ke panggung Jumatan di Monas, melegitimasi posisi Rizieq sebagai pemimpin gerakan umat. Juga tidak bisa dilupakan semangat (baca: strategi) politik yang mendorong Agus dan Anies yang rela berada satu shaf di Istiqlal.
Fenomena jelang pilkada menunjukkan kenyataan populisme telah dimanfaatkan kelompok politik maupun agama yang ingin berkuasa. Kelompok ini cenderung mempolitisasi agama, dan beberapa akhirnya meng'agama'kan politik. Populisme yang dimanfaatkan itu cenderung berpikiran tertutup dan antikeberagaman, sedangkan pembangunan rakyat semesta dalam wawasan berbangsa-bernegara mestinya inklusif tanpa diskriminasi. Dari itu semua, masihkah kita bisa percaya penghargaan atas keberagaman di Indonesia dapat bertahan?
Kita tahu populisme yang bergerak di luar sistem, akan rentan menjadi fasis di saat elektoral telah mengetuk palu mandatnya. Dan mustahil terwujud kesejahteraan jika melulu mengharapkan dukungan populisme –bak tungku hancur termakan apinya sendiri.
Pekerjaan rumah yang tak kunjung usai bagi bangsa yang hingga kini masih belajar berdemokrasi. (Ad Agung Sulistyo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H