Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Populisme Meruntuhkan Pondasi Demokrasi

28 Februari 2017   13:22 Diperbarui: 26 Agustus 2017   22:30 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reformasi yang bergulir begitu lamban karena kehilangan arah dan pegangan telah membuat rakyat kecewa, hingga membuat bangsa ini kian sulit beradaptasi pada keadaban dan nilai-nilai baru yang sesungguhnya baik. Dan akhirnya, demokrasi tumbuh berdasarkan hasrat mayoritas, yang menghilangkan semangat musyawarah untuk mufakat.

"Populisme muncul sebagai akibat dari mekanisme demokrasi yang buruk, namun tidak berarti populisme bisa menjadi solusi atas persoalan demokrasi", demikian Harian Kompas (27/02/2017) pagi ini menyimpulkan Kebangkitan Populisme sebagai salah satu gejala di dalam demokrasi Indonesia yang tengah bermasalah.

Quo Vadis Populism

Ada kesalahpahaman memandang dan menggunakan populisme di Indonesia. Paham yang mengutamakan kepentingan rakyat dan masyarakat umum yang bersifat kolektif kolegial ini kerap dimanfaatkan kelompok kepentingan yang sedang bertarung dalam gelanggang elektoral. Paul Taggart menggambarkan populisme sebagai bunglon yang dapat berubah-ubah warna kulit, tergantung lingkungan saat mana dirinya hinggap.

Dalam satu mazhab, gerakan populisme berlindung pada narasi kemurnian dan keaslian (nativism) dari masyarakat mayoritas, namun merasa (baca: seolah-olah) dimarjinalkan. Sehingga tuntutan atas hak dengan alasan kepentingan orang banyak seringkali mengabaikan hak lainnya yang secara demografis sebagai minoritas di masyarakat tersebut.

Di Indonesia, ungkapan: ‘asli Indonesia’, ‘ajaran yang murni’, ‘kebenaran hakiki’, seringkali dipakai untuk menolak apapun yang dianggap “beda dan sedikit, tapi berbahaya”. Nativism yang melupakan bahwa keaslian dan hakekat di atas permukaan bumi hanyalah bumi itu sendiri. Tak ada yang murni dan nyata kecuali kepentingan yang ingin menguasai. Maka para populis di sisi ini sangatlah rentan dipermainkan oleh kepentingan praktis seperti politik yang memakai agama atau golongan mayoritas guna mendulang dukungan dan manfaat.

Mazhab lainnya, bersanggah pada prasangka dan kecurigaan pada skenario penindasan rakyat kecil yang dilakukan oleh jabat-erat penguasa dengan pengusaha. Atas prasangka tersebut, populisme ini cenderung menolak perubahan dan kemajuan, yang dianggap berdampak pada kemerosotan nilai dan moral. Sayangnya, populis ini bisa begitu ramah menerima figur yang memakai jargon amanat penderitaan rakyat, meskipun dengan cara-cara di luar pakem dan etika.

Rasa tidak puas masyarakat populis tersebut salah satunya disebabkan oleh kekecewaan terhadap ketimpangan di sektor ekonomi maupun politik. Sebagai contoh, korporasi yang mendekat kepada pusat kekuasaan telah diuntungkan dengan lahirnya kebijakan publik yang lebih menguntungkan pemodal, ketimbang rakyat sebagai empunya sumber-sumber perekonomian. Maka semakin kentallah pertanyaan kaum populis: apakah demokrasi membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat, ataukah hanya sekedar alat bagi oligarki untuk melanggengkan kekuasaan?

Kini di Indonesia, kesenjangan sosial telah memicu lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang kecewa, dan mengalihkan harapan pada tokoh populis –cenderung antidemokrasi dan antipluralisme– yang dipercaya membawa ide-ide kemakmuran menyeluruh bagi rakyat. Tokoh ini akan diangkat sebagai pemimpin revolusioner yang berani melawan dominasi elit atas rakyat. Atas keberaniannya itu, kharisma populisnya semakin terpoles dan dianggap layak untuk memimpin meskipun dengan cara-cara yang tidak demokratis sekalipun. Mereka adalah ‘para pendulang di air keruh’.

Populisme Kelas Menengah

Populisme tidak lagi sekedar semangat yang dibawa oleh wong cilik ataupun masyarakat marjinal. Nyatanya, kelas menengah di Indonesia yang turut frustasi dalam persaingan kapitalisme global, melakukan penolakan pada perkembangan nilai-nilai kosmopolitan liberal. Kelas menengah religius yang mengidentikkan diri dengan agama (Islam) mulai terbawa pada arus populisme yang kian deras mencari dukungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun