Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menolak Arogansi Freeport

22 Februari 2017   10:26 Diperbarui: 1 Maret 2017   18:01 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak Hitam Freeport -Ad Agung

PT Freeport Indonesia (PT FI) mengajukan permohonan dan bersedia mengakhiri model Kontrak Karya (KK) yang sudah berumur 50 tahun dengan mengubahnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Namun tidak lama setelah izin dipegang, PT FI langsung menuntut keistimewaan lain dengan menolak beberapa poin yang disyaratkan oleh pemerintah bagi pemberian izin, yakni terkait divestasi saham dan skema pajak yang dikenakan.

Lex Posterior

IUPK merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh PT FI untuk mendapatkan kembali izin ekspor konsentrat yang dihentikan pemerintah sejak 12 Januari 2017. Selain syarat IUPK, pemerintah juga menegaskan dua syarat lain, yakni: membangun smelter dalam waktu 5 tahun, dan divestasi 51 persen sahamnya untuk Indonesia.

PT Freeport Indonesia (FI) kini mengantongi rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk kembali mengekspor konsentrat tembaga, melalui Surat Persetujuan Nomor 352/30/DJB/2017, tanggal 17 Februari 2017. Rekomendasi ekspor tersebut dikeluarkan berdasarkan surat permohonan PT FI Nomor 571/OPD/II/2017, tanggal 16 Februari 2017. Rekomendasi diberikan dengan mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 tahun 2017, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 1/M-DAG/PER/1/2017.

Berdasarkan IUPK, PT FI tidak lagi mendapatkan kontrak selama 50 tahun, namun hanya diberikan izin 10 tahun dengan kemungkinan perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun. IUPK juga memberikan pembatasan area tambang seluas 25.000 hektar, di mana saat ini PT FI memiliki luas area kerja mencapai 90.000 hektar. Meskipun demikian PT FI masih dapat mengurus izin area tambang baru per 25.000 hektar setiap izinnya.

IUPK juga menerapkan pajak prevailing atau sesuai ketentuan yang berlaku dalam perundangundangan; meliputi pajak penghasilan (PPH), pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak bumi dan bangunan (PBB).

Perubahan status menjadi IUPK bagi Freeport otomatis menggugurkan Kontrak Karya (KK) yang diterbitkan sebelumnya. Kini, Freeport wajib mengikuti ketentuan yang berlaku.

Indonesia Tidak Boleh Kalah/Mengalah

Sedangkan aturan IUPK sudah ditetapkan dalam UU Minerba tahun 2009, di mana perusahaan diberikan waktu lima tahun untuk menerapkan seluruh aturan tersebut. Jadi semestinya PT FI sudah harus melaksanakan aturan tersebut hingga 2014. Dan pada kenyataannya pemerintah telah memberikan perpanjangan waktu hingga 2017, yang jelas sebuah keuntungan bagi PT FI.

Jelas sekali Freeport tidak menjalankan aturan; dari UU Minerba sampai peraturan turunannya. Kewajiban divestasi yang diatur dalam pasal 24 KK diabaikan, fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang diatur dalam pasal 10 KK juga tidak dibangun. Semestinya pihak PT FI menghormati dan tunduk pada kebijakan pemerintah dan aturan yang berlaku, sebagai jaminan operasi bisnis dan investasi yang dilakukannya di Indonesia.

Namun kini, tidak lama berselang keluarnya IUPK, yang sebelumnya dimohonkan secara sukarela, PT FI justru melakukan penolakan atas beberapa poin yang diatur dalam IUPK. Terkait divestasi saham, PT FI hanya bersedia melepas 30 persen sahamnya. Dan terkait pajak, PT FI merujuk pada pajak tetap (nailed down) seperti diatur dalam KK.

Terkait penolakan tersebut, sangat mungkin berujung pada penyelesaian perselisihan di Mahkamah Arbitrase Internasional. Hal tersebut dinyatakan oleh CEO Freeport McMiRan Inc Richard C. Adkerson yang akan mengambil jalur arbitrase jika dalam 120 hari ke depan terjadi kebuntuan negosiasi dengan pemerintah. Meskipun berkesan menantang, namun hal tersebut tentu lebih baik ketimbang isu pemecatan puluhan ribu pekerja yang dipakai oleh pihak PT FI untuk menekan pemerintah.

Merujuk pada kebiasaan dalam hukum internasional, akan melihat ketentuan hukum (undang-undang) yang berlaku di negara yang bersangkutan sebagai pertimbangan rekomendasi penyelesaian sengketa. Menjadi tidak tepat jika PT FI melihat KK maupun IUPK sebagai lex specialis (derogat legi generalis) yang mengesampingkan keberlakukan undang-undang (UU No.4/2009 tentang Minerba) dan aturan hukum lain di bawahnya.

Babak baru perseteruan (negara) Indonesia dengan (PT) Freeport memang harus segera diselesaikan. Kepentingan politik yang terus bermain serta ‘Jejak Hitam Freeport’ dalam sejarah panjang kepentingan politik di Indonesia harus dituntaskan. Setelah kasus “papa minta saham” di tahun 2015 yang menyeret nama Setya Novanto dan Riza Chalid, tak henti-hentinya Kontrak Karya Freeport menjadi bahan perenungan: terus dilanjutkan, atau dihentikan!

Sebagaimana dikatakan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, "Divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan Bapak Presiden agar Freeport dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta Papua khususnya juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia." (liputan6, 20/2/2017).

Hal penting bagi Indonesia terkait perubahan model dari ‘kontrak’ menjadi ‘izin’ adalah berarti mengubah posisi negara dengan PT FI yang semula setara –kontrak dilakukan oleh para pihak yang kedudukannya setara–, kini negara berkedudukan lebih tinggi, dimana PT FI memerlukan izin dari negara untuk beroperasi.

Maka, Indonesia tidak boleh kalah dan mengalah lagi oleh arogansi Freeport. Ancaman pemecatan puluhan ribu tenaga kerja lebih menjadi bukti bahwa Freeport hanya memikirkan ratusan truck-nya terisi mineral-berharga, bukan nasib rakyat Papua.

Seluruh komponen bangsa dan kekuasaan negara harus satu suara. Tidak hanya demi kewibawaan memenangkan perselisihan dengan Freeport –saat ini, namun terutama demi kedaulatan perekonomian rakyat; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Ad Agung Sulistyo).


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun