Terkait penolakan tersebut, sangat mungkin berujung pada penyelesaian perselisihan di Mahkamah Arbitrase Internasional. Hal tersebut dinyatakan oleh CEO Freeport McMiRan Inc Richard C. Adkerson yang akan mengambil jalur arbitrase jika dalam 120 hari ke depan terjadi kebuntuan negosiasi dengan pemerintah. Meskipun berkesan menantang, namun hal tersebut tentu lebih baik ketimbang isu pemecatan puluhan ribu pekerja yang dipakai oleh pihak PT FI untuk menekan pemerintah.
Merujuk pada kebiasaan dalam hukum internasional, akan melihat ketentuan hukum (undang-undang) yang berlaku di negara yang bersangkutan sebagai pertimbangan rekomendasi penyelesaian sengketa. Menjadi tidak tepat jika PT FI melihat KK maupun IUPK sebagai lex specialis (derogat legi generalis) yang mengesampingkan keberlakukan undang-undang (UU No.4/2009 tentang Minerba) dan aturan hukum lain di bawahnya.
Babak baru perseteruan (negara) Indonesia dengan (PT) Freeport memang harus segera diselesaikan. Kepentingan politik yang terus bermain serta ‘Jejak Hitam Freeport’ dalam sejarah panjang kepentingan politik di Indonesia harus dituntaskan. Setelah kasus “papa minta saham” di tahun 2015 yang menyeret nama Setya Novanto dan Riza Chalid, tak henti-hentinya Kontrak Karya Freeport menjadi bahan perenungan: terus dilanjutkan, atau dihentikan!
Sebagaimana dikatakan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, "Divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan Bapak Presiden agar Freeport dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta Papua khususnya juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia." (liputan6, 20/2/2017).
Hal penting bagi Indonesia terkait perubahan model dari ‘kontrak’ menjadi ‘izin’ adalah berarti mengubah posisi negara dengan PT FI yang semula setara –kontrak dilakukan oleh para pihak yang kedudukannya setara–, kini negara berkedudukan lebih tinggi, dimana PT FI memerlukan izin dari negara untuk beroperasi.
Maka, Indonesia tidak boleh kalah dan mengalah lagi oleh arogansi Freeport. Ancaman pemecatan puluhan ribu tenaga kerja lebih menjadi bukti bahwa Freeport hanya memikirkan ratusan truck-nya terisi mineral-berharga, bukan nasib rakyat Papua.
Seluruh komponen bangsa dan kekuasaan negara harus satu suara. Tidak hanya demi kewibawaan memenangkan perselisihan dengan Freeport –saat ini, namun terutama demi kedaulatan perekonomian rakyat; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Ad Agung Sulistyo).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H