Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta paslon nomor urut 1 Agus-Sylvi dan paslon nomor urut 3 Anies-Sandi menghadiri aksi 112 di Masjid Istiqlal Jakarta. Kedua pasangan hadir dan mengikuti shalat subuh berjamaah serta zikir bersama peserta aksi lainnya.
Ustadz Arifin Ilham dalam ceramahnya mengungkapkan kerinduan atas pemimpin yang bertakwa, dengan pesan: Pilihan hanya pada Anis dan Agus, untuk Basuki Tjahaya Purnama pilihannya adalah mendoakan hidayah. “Kalahkan Ahok, pak Anies pak Agus,” teriak salah seorang peserta aksi (Republika, 11/02/2017).
Hari sebelumnya, Kapolri bersama Bawaslu DKI, KPU DKI, Plt Gubernur DKI, Kapolda Metro Jaya, dan Pangdam Jaya, sepakat melarang segala bentuk orasi dan longmarch pada aksi 112 karena berpotensi melanggar UU Pilkada No.9/1998, terkait penyampaian pendapat di muka umum yang mengganggu ketertiban publik.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah menyarankan agar acara tersebut dibatalkan saja karena mobilisasi massa berpotensi disusupi agenda politik, masalah keagamaan akan dikaitkan dengan politik pilkada.
Atas pelarangan tersebut –didahului dengan pertemuan Menko Polhukam Wiranto dengan para penggerak Gerakan Fatwa MUI, seperti pentolan FPI Rizieq Syihab, ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir, M. Zaitun Rasmin, dan Munarman–, kelompok masyarakat penggagas acara sepakat mengubah format acara menjadi kegiatan keagamaan yang dipusatkan di Masjid Istiqlal. Meskipun di lain tempat dalam waktu yang hampir bersamaan, sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath yang kali ini akan mengomandoi aksi menyatakan akan tetap melakukan aksi sesuai rencana semula.
Pelarangan telah terjadi, saran ditanggapi dengan mengubah format aksi, namun agenda politik masih mampu menyelip dengan cantik. Karena ibadat tidak boleh dilarang, itulah kebebasan. Sebagaimana kebebasan untuk memilih berada di mana untuk melakukan apa, dilihat oleh siapa memperoleh apresiasi bagaimana. Cerdas!
Kehadiran paslon nomor 1 dan 3 bukan secara kebetulan. Dan jika kecerdasan strategi dibarengi dengan kepedulian kebangsaan, tentu para paslon akan berpikir ribuan kali (melebihi jumlah RW di wilayah DKI) untuk menghadiri aksi yang dikomandoi oleh FUI ini. Berbeda dengan ‘Aksi Bela Islam’ sebelumnya yang dikomandoi oleh Gerakan Fatwa MUI, aksi kali ini digagas oleh Forum Umat Islam (FUI) –gerakan radikal yang aktif melakukan aksi pembubaran Ahmadiyah dan penegakan syariat Islam, dengan keterwakilan beberapa ormas militan seperti Hizbut Tharir dan FPI–.
Dalam rilis International Crisis Group mengungkapkan kemampuan FUI dalam mendorong setiap isu menjadi aksi massa dengan menanam wawasan bahwa pemerintahan Islam adalah satu-satunya solusi. Maka sangat beralasan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Said Aqil Siradj menolak aksi 112. Demikian pula dilansir sebelumnya, Ketua MUI Ma’aruf Amin menginstruksikan: Atas nama Rais Aam PBNU, melarang warga NU untuk turun aksi 112.
Isu tidak lagi berputar hanya pada politik pilkada DKI. Tidak sesederhana tujuan menahan laju petahana Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur lagi. Ada kepentingan yang ingin membenturkan ideologi Islam moderat dengan Islam radikal. Dan pembiaran atas gejala ini tiada lain akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat Islam Indonesia akan terpecah belah. Bukan tidak mungkin jika terjadi menerus, hal yang sama akan dialami oleh kelompok masyarakat lainnya, atas primordial agama, ras, dan etnis yang ada. Ini terjadi pada beberapa negara di dunia, perpecahan horisontal yang berujung pada pembelahan negara.
Melihat ke belakang untuk mengambil langkah ke depan, semestinya para politisi dan pemimpin masyarakat lebih bijak untuk menghindari isu SARA bermain ke ranah politik. Tentang agama, ras, dan etnisitas, adalah hal primordial dan perenial yang menyentuh perasaan terdalam akan identitas.
Semua terlalu sensitif hingga dapat menyinggung kebanggaan serta emosi. Kita tentu tidak mengharapkan hard primordialism yang menghasilkan sektarianisme agama memecah kesatuan bangsa. Karena chauvinisme politik sempit yang beramalgamasi dengan SARA inilah yang akhirnya akan menghancurkan negara-bangsa yang sesungguhnya sangat-sangat bhinneka.
Membawa amanat kebangsaan dalam keyakinan agama memang membutuhkan kecerdasan intelektual dan pendalaman ilmu keagamaan yang lengkap. Mengutip kata Said Aqil Siradj,”Harus cerdas dan berilmu.” (Ad Agung Sulitsyo).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H