Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alam Takambang Jadi Guru

31 Januari 2017   13:22 Diperbarui: 1 Maret 2017   20:00 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘Dunia Pendidikan Berduka’ menjadi tajuk Harian Kompas (25/1/2017) dan perhatian banyak media atas tragedi di dunia pendidikan yang kembali terulang. Pendidikan dasar organisasi pecinta alam (Mapala Unisi) mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta di lereng selatan Gunung Lawu telah menewaskan tiga orang mahasiswanya. Di saat proses penguatan soft skills telah mengubah “ajar” menjadi “hajar”, apakah semesta alam dapat terus menjadi guru bagi pembentukan karakter tunas kecerdasan bangsa?

Di lingkungan kelompok pecinta/pemerhati alam, istilah ‘pendidikan’ lebih banyak dipakai ketimbang ‘pelatihan’, tentu bukan tanpa sebab. Semestinya segala bentuk pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal menjadi pendidikan moral, karena kondisi pembelajarannya yang membimbing. Soft skills; kemampuan atribut pribadi yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan harmonis dengan orang lain dan lingkungannya inilah yang ingin dicapai dalam sebuah pendidikan dasar (pecinta alam).

Menilik hakekat pecinta alam yang tertuang dalam Kode Etik Pecinta Alam (Gladian IV, 1974) yang menyatakan: “..menghargai manusia sesuai dengan martabatnya”, menjadi mengherankan jika metode pendidikan yang dipakai dominan pada pengajaran fisik-statis yang melulu mengarah pada kekerasan. Alih-alih menjadi ajang pembentukan karakter dan penempaan mental, sifat pendidikan dengan semangat ‘perpeloncoan’ hanya bersintesis menjadi penganiayaan dan penghilangan martabat manusia.

        “Panakiak pisau sirauik ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak ka niru, 
        nan satitiek jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru.”

Filsafat kodrati yang menjadi pandangan hidup masyarakat Minangkabau tersebut mengandung makna tanggung jawab seseorang dalam rangka pengembangan diri, dengan melihat semesta sebagai sumber pengetahuan dan tertempanya nilai-nilai keadaban. Sejatinya, falsafah alam yang dikandung tak sebatas fenomena dunia fisik –tumbuhan, hewan, dan unsur lingkungan bumi lainnya– dalam leksikom kelompok pecinta alam (minding nature).

Tidak untuk menafikan unit kegiatan mahasiswa, khususnya dalam kasus ini pada mahasiswa pecinta alam, namun sejumlah kekerasan di lingkungan kampus selama lima tahun terakhir telah masuk dalam tahap yang memprihatinkan. Padahal, unit kegiatan dan organisasi kemahasiswaan sebagai basis pendidikan informal sesungguhnya dapat membantu tercapainya tujuan holistik pendidikan dalam pembentukan manusia yang berbudaya dan beradab.

Pendidikan Karakter

Duka pendidikan tak hanya terkait tragedi kematian. Peristiwa yang baru saja terjadi adalah borok dari infeksi akut di nadi pendidikan nasional. Sedangkan paradigma pendidikan seharusnya dibangun sebagai wawasan yang jauh ke depan, tapi kita masih saja ribut dengan persoalan kurikulum, jam sekolah, dan dana pendidikan.

Daoed Joesoef mengatakan, “Pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Tidak ada bangsa maju yang tidak didukung oleh pendidikan yang kuat.” Dengan gamblang beliau telah menjelaskan konsep holistik dari pembangunan pendidikan yang tiada lain adalah pendidikan karakter yang membentuk anak untuk menjadi warga negara, bukan sekedar penduduk. Karna dibandingkan dengan penduduk yang hanya sekedar menumpang tinggal, warga negara akan berupaya turut serta dalam pembangunan bangsa –karena keterikatan diri dengan bangsanya.

Di sini negara harus hadir dan menjadi ‘pelayan-eksekutif’ yang menjaga moral warga pada nilai-nilai ideologi keindonesiaan, sekaligus ‘guru-pemimpin’ yang membangun jiwa, bukan dulu badannya. Di saat pendidikan moral dan ideologi telah diacuhkan hingga membuka gerbang radikalisme, bukankah kita telah kecolongan? Di kala kemanusiaan hanya menjadi hafalan sila Dasar Negara, kekerasan akan terus merajalela?

Hal tersebut lebih kurang dapat menjelaskan atau memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi jika pendidikan karakter diabaikan; orang pintar yang tidak memiliki karakter itu lebih berbahaya bagi orang lain maupun dirinya. Kepintaran akhirnya dipergunakan untuk minteri (membodohi orang lain dengan menggunakan pengetahuannya) dan bukan untuk cita-cita yang mulia. Alam takambang ditolak menjadi guru, tut wuri handayani hanya menghiasi banyolan dan satir. Marwah pendidikan memudar dalam bisnis pengajaran. (Ad Agung Sulistyo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun