Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revisi UU ITE Belum Dapat Menjawab Kebutuhan Masyarakat

1 Desember 2016   02:33 Diperbarui: 1 Maret 2017   20:00 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freedom of Expression UU ITE - Ad Agung

Hingga akhirnya, karena kerumitan mencapai definisi yang tepat, resolusi HAM PBB telah menghindari istilah hate speech, guna mendukung formulasi yang lebih rumit, seperti: intoleransi, stereotip negatif, stigmatisasi dan diskriminasi, hasutan untuk melakukan kekerasan, dan kekerasan terhadap orang berdasarkan agama atau keyakinan. Maka istilah hate speech lebih difokuskan pada “kecenderungan ekspresi yang dapat menyebabkan kekerasan yang meluas”.

Membangun Pondasi Hukum yang Berkeadilan

Jika merujuk pada tindakan-tindakan yang ingin diatur dalam UU ITE terkait ‘bab perbuatan yang dilarang’ yang dilakukan terhadap orang lain dalam ruang internet, maka harus dijabarkan satu per satu dengan nilai dan norma hukum dan dalam pemahaman yang berlaku universal. Alih-alih memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet, tanpa kajian menyeluruh dan pemahaman yang kuat atas semua komponen pendukung dunia maya justru berpotensi penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan politik.

Terdapat implikasi akan mudahnya pemerintah melakukan penapisan dan pemutusan konten, yang terbaca sebagai pemandulan atas hak kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Menurut data yang dilansir SAFEnet, hingga kini, UU ITE yang mulai diundangkan tahun 2008 telah menjerat 207 orang, dengan pemilik kekuasaan mengambil peran utama sebagai penuntut –dan yang dimenangkan di pengadilan.

Lex iniusta non est lex –hukum yang tidak adil, bukanlah hukum. Jika semua setuju untuk melawan kriminalisasi ekspresi yang sah, sangat penting untuk mendorong lebih kuat agar pasal penghinaan beserta pidananya dihilangkan. UU ITE hendaknya hanya mengatur konten informasi elektronik, dan memberikan perlindungan pada pengguna informasi. Terkait moralitas hukum dalam hubungannya dengan pidana yang dijatuhkan pada perbuatan yang dilarang oleh UU ITE, lebih baik jika dimasukkan ke dalam RUU KUHP, sehingga selaras dengan harapan pemerintah menjadikan KUHP sebagai kodifikasi hukum-hukum pidana.

Kebanyakan masyarakat belum sadar bahwa media sosial merupakan ruang publik dan bukan ruang privat. Ketimbang mempertahankan pasal-pasal yang lebih banyak dipakai untuk “menjaga wibawa” segelintir orang atau pejabat, maka lebih bermartabat bagi pemerintah, sebagai lembaga, jika mengupayakan pembangunan kesadaran dan mendidik masyarakat untuk cerdas dan bertanggung jawab dalam sikap dan perilakunya di dunia maya. (Ad Agung Sulistyo)

https://goo.gl/6CRGe8

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun