“Lelaki gemulai itu lingsir di tengah panggung. Bibir merahnya bergerak genit senandungkan tembang jawa. Merdu menawan hati, menggelisahkan penonton yang rata-rata juga kaum lelaki.“
Membaca budaya-politik dalam etape Pilkada, isu SARA terlalu sering dipakai sebagai senjata pamungkas mendongkrak popularitas sekaligus menjatuhkan lawan. Mengabaikan persoalan ini sama saja membiarkan pedang politik terasah untuk membelah bangsa yang kian retak dalam sentimen kedaerahan, agama, etnik, dan golongan.
Melalui pendekatan trikotomi “Abangan, Santri, dan Priyayi” Clifford Geertz, kita dapat menengok dokumentasi perpecahan dalam struktur sosial masyarakat, dengan kebudayaan yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik. Ternyata, dengan teropong sosial-humaniora semakin jelas menggambarkan sistematisasi yang tidak hanya tetap relevan di periode masa kini, namun juga meluas pada struktur masyarakat yang primordial.
Abangan, mengacu pada tradisi empiris kaum tani yang tidak terlalu melibatkan diri pada ritual agama yang aktif; berpola pada tradisi jawa yang kental di kehidupan sehari-hari. Santri, kelak menjadi kekuatan Islam yang skripturalis; mengkonversi ajaran apa adanya secara total. Sedangkan Priyayi, adalah kelompok ketiga yang dilihat Geertz sebagai kaum bijaksana dalam semangat kedalaman yang akhirnya berperan sebagai penyeimbang; berkembang menjadi semacam pendamai dalam skismatik dari sejarah perseteruan antara kelompok islamis dengan keyakinan lokal (abangan).
Pada masanya, saat landreform menjadi barang dagangan politik, Ludruk berhasil menyuarakan satir dan kritik; menjadi media ampuh pembawa lompatan ide dan semangat pembebasan atas sisa-sisa feodal yang masih terbawa oleh kaum agamis dan tuan tanah. Masyarakat kelas bawah–terbesar di masa awal kemerdekaan–melawan dalil-dalil suci yang dipertahankan oleh para tokoh agama yang perannya justru terasa dalam meruntuhkan semangat revolusioner.
Hingga tuhanpun turut dipentaskan di atas panggung Ludruk, yang telah ditolak sejak awal lahirnya oleh Kaum Santri. Berkali-kali lakon “Malaikat Kipo” yang berbau agitasi membelah kian lebar jurang antara Kaum Santri dan Abangan. Namun, di saat itu pula lah Soekarno justru mengundang mereka ke dalam istana.
Presiden Soekarno, perwakilan kelas Priyayi, “melindungi” keberadaan Ludrukers yang kebanyakan adalah kaum Marhaen. Sang Priyayi mengangkat mereka ke tempat yang lebih tinggi serta meredam konflik antara Santri dan Abangan, bahkan menyatukannya dalam jargon ‘antikolonialis dan antiimperialis’.
Belajar dari Sejarah
Sejarah jelas belum selesai, dramaturgi konflik sosial masih terus berputar dengan segala dinamikanya. Dalam satu kasus, ayat yang “dipinjam” Ahok untuk menunjukkan diri sebagai calon terbaik dalam Pilkada DKI, berbuah kecaman dari kelompok agama yang merasa tersinggung secara akidah.
Dalam konsep trikotomi yang telah penulis singgung sebelumnya, bolehlah menaruh Ahok dalam kelompok abangan–yang diperluas–, yang “hanya mendengar-dengar saja” akidah yang dimaksud, dan tidak menjalaninya. Sedangkan “para santri” pembela akidah Islam adalah yang paling keras mengecam, hingga menuntut Ahok untuk mundur dari panggung balaikota.