Meskipun tidak secara langsung menjadi sebuah skismatik, namun penolakan oleh kelompok pembela Islam terhadap Ahok menampilkan fenomena yang sama sejak masa lalu, santri versus abangan. Jika dahulu kaum priyayi yang berada di antara mereka–berkat status sosialnya–mampu meredam konflik yang ada, sangat mungkin hal tersebut dilakukan kembali saat ini. Kaum priyayi yang adalah mereka yang duduk di dalam lembaga kekuasaan negara; para cendekiawan dan kaum terpelajar; serta tokoh masyarakat di berbagai lapisan, dapat menjadi pendamai dalam isu SARA yang acap kali dimanfaatkan oleh politik.
Na’ molitod kon uoi pondot ‘bagai melilit rotan besar dan rotan kecil’. Kaum Priyayi–sebagai bagian dari masyarakat yang hidup–dapat menjadi pemersatu. Sebagaimana sejak awalnya Priyayi bisa sekaligus sebagai priyayi-abangan ataupun priyayi-santri, mempunyai pilihan untuk membawa masyarakat pada keadaban, ataukah kehancuran.
Saat ini memang masih tergulir pada isu agama, namun isu-isu yang menyentuh kesukuan, etnik, maupun antar golongan, tetap berpotensi terus-menerus muncul sebagai konflik primordial yang akan menjadi bahaya laten.
Kelompok Priyayi yang cenderung masuk sebagai bagian dan diterima di kedua kelompok lainnya dapat memimpin dan membawa pencerahan pada isu-isu yang lebih mulia, seperti: kemanusiaan yang berkebudayaan, pembangunan masyarakat madani, serta demokrasi dan keadilan sosial. Percuma saja berdiri di salah satu sisi pendukung dan terseret dalam permainan ‘judi’ politik, karna tak ada gunanya bangga dengan sensasi menggelitik SARA yang memang laku-jual; sejatinya virus yang memecah persatuan.
Maka, style priyayi harus dipakai guna mencegah gulungan bola salju ‘devide et impera’ yang semakin besar, hingga dapat membelah Indonesia sebagai negara-bangsa.
Takdir kita sebagai Bangsa yang majemuk; janganlah perbedaan dipaksakan untuk menjadi sama. Karna telah final bagi kita rumusan Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Suka-tidak suka, bukanlah ludruk jika tanpa waria. Tak ada Indonesia jika tanpa bhinneka –karya dramatik para Bapak Pendiri Bangsa yang melihat perbedaan sebagai sebuah kekuatan.
Maka siapapun yang ingin menempatkan diri sebagai pemimpin di sudut manapun negeri ini, wajib memiliki jiwa dan semangat kenegarawanan yang pantas. Memandang rakyat sebagai subyek, untuk dihidupi dan bukan untuk dimanipulasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H