Jika dilihat dari strategi yang dilakukan, PDI Perjuangan lihai memanfaatkan isu-isu sosial-politik yang lekat dengan masyarakat. Bahkan jika memang benar, telah melakukan demassifikasi pada tubuh partainya sendiri, dengan membelah kader-kadernya ke dalam komponen-komponen terpisah namun solid.
Dalam tahapan waktu yang pendek, masing-masing komponen kader tersegmentasi ke dalam beragam harapan dan kepentingan yang sesungguhnya lemah. Tanpa adanya visi yang kuat, nalar kritis para kader menjadi mandul. Sehingga tidak memiliki strategi apalagi aksi, selain mengikuti apa kata partai sesuai arahan elitnya.
Berkat kepiawaian dalam membaca situasi politik dan pemetaan kekuatan, PDI Perjuangan dengan jaringan massa yang luas telah berhasil memperoleh poin besar untuk bisa memenangkan kompetisi di Pilkada.
Namun keberhasilan dalam tahap ini bukanlah akhir dari perjalanan. Partai harus berhati-hati dengan keterbelahan misi dan pandangan yang sangat mungkin mengkristal dalam aksi bersama menentang kebijakan partai hasil olahan elitis.
Dalam bingkai Pilkada DKI, Basuki Tjahaja Purnama bukanlah kader PDI Perjuangan. Maka sangat mungkin muncul sentimen kecemburuan kader lain yang merasa cukup layak untuk juga dijagokan. Belum lagi kemarahan massa partai yang merasa dipermainkan sebagai kelas nomor dua yang diperas loyalitasnya.
Di sinilah Marx berteriak,
“..Borjuasi memproduksikan penggali kuburnya sendiri!”
Namun begitulah politik, alam yang tak pasti. Karna kepentingan partai adalah hasil rembuk sekian banyak kepentingan, yang kadang dapat disepakati, kadang dicaci setengah mati.
Mengintip fenomena PDI Perjuangan dan Ahok bukanlah semata melihat sebuah partai dan orang, namun lebih jauh sebagai gambaran realitas sosial-politik saat ini, di Indonesia, pada masyarakatnya.
Demassifikasi politik dalam masyarakat bukanlah virus yang akan meniadakan partai, namun vitamin bagi keadaban publik dalam membangun demokrasi dan cita-cita bernegara. Keinsyafan kita sebagai warga negara dalam menanggapi politik, adalah keinsyafan kita berkonstitusi. (Ad Agung Sulistyo)