Sumber: sejarahkita.org
Lazim terjadi, seseorang yang didukung atau berbaik-hati dengan Kolonial Belanda akan dianggap sebagai orang yang kontra-revolusi, bahkan pengkhianat. Namun tidak demikian dengan Raden Ajeng Kartini, yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1964 melalui Keppres No.108/1964 dan mengangkat tanggal kelahirannya, 21 April sebagai Hari Kartini --salah satu hari besar nasional.
Soekarno yang dikenal anti-kolonialis dan anti-imperialis justru menggambarkan Kartini sebagai sosok perempuan yang berpendirian kuat, berani, mandiri, dan merdeka, sebagaimana gambaran Srikandi dalam kisah perwayangan Jawa, prajurit perempuan dengan keris dan busur panah yang selalu digenggam, senapati Pandawa dalam Perang Bharatayudha yang berhasil menaklukkan Bisma.
TeleSUR, sebuah jaringan media progresif di Amerika Latin pada Hari Anti-Kolonialisme Sedunia 2016 mengangkat image-profiletokoh-tokoh berpengaruh yang memimpin gerakan kemerdekaan di seluruh dunia. Di antara 10 tokoh tersebut terdapat nama Raden Ajeng Kartini, ditulis sebagai seorang nasionalis berpengaruh dari Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan dari Belanda dan mendorong hak berpendidikan bagi perempuan. Selain Kartini, terdapat pula nama Presiden Soekarno, yang disebut sebagai seorang nasionalis Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan, dan menghabiskan lebih dari satu dekade dalam tahanan Belanda.
Setelah sebelumnya banyak dipublikasikan oleh media lainnya, publikasi terbaru dari TeleSUR menguatkan pengakuan akan perjuangan kedua tokoh Indonesia tersebut di mata dunia internasional. Hal ini kian menepis pandangan sinis terhadap Kartini sebagai seorang nasionalis yang takluk tak berdaya, hingga tak pantas disandangkan dengan penganugerahan ‘hari besar’. Bahkan Orde Baru me-reduce citra Kartini dalam gambaran Sembadra yang bersanggul dan berkebaya, ibu yang lemah-gemulai dan patuh pada suami semata. Padahal, “Setiap pejuang bisa kalah dan terus-menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah.” (Pramoedya Ananata Toer, Prahara Budaya, h.187).
Selain kolonialisme dan imperialisme, menurut Soekarno ada ‘isme’ lainnya yang juga harus dipendam, yakni elitisme. Elitis --kaum feodal yang memandang diri lebih tinggi dibanding orang lain--, yang mampu menginjak rakyat negeri sendiri. Kartini yang terlahir sebagai putri dari Kanjeng Bupati Jepara tidak tergoda untuk hidup bermewah-mewah sebagai bangsawan keluarga aristokrat. Keberpihakan dan kecintaannya pada rakyat jelata membuat hatinya selalu meradang gelisah kala melihat penderitaan dan kemelaratan. Seperti ditulis dalam suratnya, “Aku renungi dan pikirkan keadaanku sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkupi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap tangis, erang dan rintih orang-orang di sekelilingku.”
Akhirnya, semangat anti-feodal tergambar dalam ucapan Kartini, “Tiada yang lebih gila dan bodoh daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya itu.”
Alam budaya Indonesia yang didominasi oleh sistem patriarki menempatkan perempuan dalam struktur sosial di bawah laki-laki. Perempuan ditempatkan pada ruang terbatas yang meredam lonjakan potensi hingga menjadi kekuatan yang bisu.
Kartini memberontak! Dalam diam penanya terus menyala, surat-suratnya kepada para sahabat menjadi inspirasi atas kesadaran menuntut hak dan pengakuan kesetaraan secara sosial.
Kartini memainkan ‘busur-pena’ nya, melesatkan anak panah-anak panah revolusi yang bergerilya melawan prinsip nrimo ing pandum yang terbelenggu dalam tradisi kolot yang menyengsarakan rakyat dan kaum perempuan. Dengan lebih keras Soekarno pun melawan prinsip tersebut, untuk tidak sekadar pasrah dan takluk pada apa yang telah diterima. “Saya selalu anjurkan agar berani hidup nyerempet bahaya.. Jangan kita hidup baik sebagai bangsa maupun sebagai pemuda itu takut kepada bahaya. Jikalau perlu, gempur! Jika perlu mari nyerempet kepada bahaya itu. Vivere pericoloso!” (Amanat Presiden Soekarno pada penutupan Muktamar NU di Solo, 28 Desember 1962).
Dan semangat revolusi itu masih berkobar hingga kini, semangat anti-kolonialis dan anti-imperialis, revolusi gerakan emansipasi -persamaan hak dalam segala aspek kehidupan masyarakat, dari Soekarno dan Kartini, yang menerobos pakem dan kekangan tradisi. Perempuan tak lagi takut mengambil peran, hadir dalam ruang-ruang dominasi feodal dan patriarkal yang menindas kaum dan mengeksploitasi keberadaan (lihat pula: Swan, Debat Sengit Bung Karno vs Ali Sastro tentang Pelacur).