Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Majelis MKD Tidak Paham Cara Bersidang, Anggap Saja Khilaf atau Mungkin Mereka Lelah

6 Desember 2015   12:17 Diperbarui: 6 Desember 2015   21:42 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Supaya tidak menjadi perdebatan berkepanjangan dan berubah menjadi diskusi pokrol-pokrolan, ada baiknya kita melihat lebih jelas beberapa prinsip hukum versi ‘pokrol bambu’ Yang Mulia dalam rangka membebaskan Sang Putera Mahkota:

“Kalau hanya ada satu Saksi, dalam kacamata hukum, bukanlah saksi.”

Jika kita masih hidup di era kolonial Belanda, tidak salah jika prinsip yang dikenal dengan istilah “unus testis nullus testis” ini masih dipakai. Prinsip ini mensyaratkan dua orang saksi atau lebih untuk dapat dipakai sebagai alat bukti, yang dalam sejarahnya prinsip ini diangkat agar tidak dimunculkan fitnah.

Dalam perkembangan hukum selanjutnya, baik di Negeri van Oranje sendiri maupun di Indonesia telah menterjemahkan lebih luas makna “unus testis” sebagai bagian dari seluruh alat bukti yang ditampilkan di persidangan. Hukum pidana mengenal lima alat bukti dengan “keterangan saksi” sebagai salah satu di antaranya, dan dibutuhkan setidaknya dua alat bukti sebagai dasar pertimbangan hakim untuk memutus perkara.

Hukum Pidana juga dengan hukum acaranya tidak memberikan syarat harus ada dua orang saksi atau lebih untuk memenuhi syarat “keterangan saksi” sebagai alat bukti. Pasal 185 ayat (2) KUHAP hanya mengatur bahwasanya seorang saksi hanya boleh dipercaya atau dapat digunakan sebagai dasar bahwa dalil gugatan secara keseluruhan terbukti, hanya jika didukung oleh alat bukti lainnya. Jadi, jika hanya ada satu orang saksi saja, namun pernyataannya tidak bertentangan dan/atau diperkuat oleh alat bukti lainnya (keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan/pengakuan terdakwa) maka pernyataan saksi tersebut dapat dipakai menjadi alat bukti.

Dalam kasus Novanto, tidak perlu dipaksakan menghadirkan saksi lain. Meskipun anggota dewan-yang-mulia keukeuh bahwa Sudirman Said tidak memenuhi kriteria sebagai saksi, namun keterangan saksi Maroef Sjamsoeddin bersama bukti rekaman percakapan yang diakui keasliannya, telah cukup untuk dipergunakan oleh Majelis untuk memutus perkara.

Tampak sekali para Yang Mulia memaksakan harus ada dua orang saksi, yang artinya harus menghadirkan Riza Chalid, yang entah sekarang ada di mana.

Mari kita melihat dan mencontoh banyak kasus kejahatan pelecehan seksual atau pemerkosaan, yang hampir pasti hanya ada dua pihak: pemerkosa dan yang diperkosa. Bisa dibayangkan, jika prinsip hukum kolonial ini masih diberlakukan, keterangan korban yang hanya dihitung sebagai satu saksi (unus testis) tidak bisa dipakai oleh hakim, bahkan oleh hukum itu sendiri untuk memidanakan ‘penjahat kelamin’.

..sadis, ‘kan?!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun