SIDANG MAHKAMAH POKROL-POKROLAN
Rakyat bertanya, hendak dibawa kemana kisah kehormatan dewan ini oleh para Yang Mulia? Mahkamah Kehormatan Dewan tidak lagi menjalankan sidang etik. Polarisasi anggota MKD terbentuk bukan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan dewan namun sekedar untuk melindungi dan membela jagoannya –Ketua DPR Setya Novanto.
Proses sidang menjadi sorotan utama, menanggapi pertanyaan sejumlah anggota MKD yang mengada-ada dan keluar dari konteks. Anggota MKD gagal-fokus menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan perkara, yakni pelanggaran etik dengan subjek Setya Novanto yang dibuktikan dengan rekaman pembicaraan.
Alih-alih membahas pokok perkara etik dari Novanto, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan justru lebih bersifat interogatif dan menyudutkan saksi, baik pada Sudirman Said sebagai pengadu maupun Maroef Sjamsoeddin sebagai saksi yang merekam. Hingga pertanyaan masyarakat berlanjut: Jadi, MKD sedang menyidang apa dan siapa?
Para anggota dewan-yang-mulia terus berkelak-kelok menghabiskan waktu mereka yang berharga dalam pertanyaan-pertanyaan perihal: saksi yang hanya satu orang tidak bisa disebut saksi; merekam pembicaraan tanpa izin adalah pelanggaran hukum; motivasi perekam dan pengadu; dan lebih konyol lagi dengan pernyataan yang lebih mirip curcol, seperti: kalau mau merekam seharusnya memakai alat yang canggih, karena kualitas rekamannya sangat mengganggu untuk didengarkan. (heloooww.. ada yang salah dengan microphonenya, atau dengan earphonenya?)Â
Anggota dewan-yang-mulia dengan penuh semangat menegaskan bahwa sidang ini mengikuti prinsip-prinsip sebagaimana sidang peradilan hukum, namun di saat yang sama pula justru mempertunjukkan ketidakpahaman mereka pada prinsip hukum yang dimaksud. Benar-benar tidak tahu, atau sebenarnya mencari celah hukum?
..ini pokrol-pokrolan.
Â
Sebenarnya, sidang MKD hendak memutus materi perkara yang tidak terlalu rumit, maka tidak perlu bertele-tele. Fakta yang ingin diungkap adalah: apakah benar telah terjadi pelanggaran etik oleh Novanto? Pelanggaran etik yang dimaksud adalah pelampauan wewenangnya sebagai Ketua DPR, dengan mengatur pertemuan dan negosiasi sebagai bentuk intervensi perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia, yang merupakan wilayah kewenangan eksekutif.
Fakta yang dimaksud dapat dibuktikan dengan mengusut barang bukti berupa rekaman pembicaraan yang dilakukan oleh Maroef Sjamsoeddin. Maroef telah diperiksa, dan menyatakan bahwa rekaman tersebut adalah benar miliknya, dan tidak diubah isinya. Jadi, penyidangan pokok perkara ini senyatanya telah selesai, dimana telah dilakukan pelanggaran etik oleh Ketua DPR Setya Novanto, dan telah terbukti.
--------