Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilihan Jokowi Keniscayaan ORANG RIMBA Jambi

15 November 2015   12:54 Diperbarui: 1 Maret 2017   20:00 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas memantau penanggulangan bencana asap, Presiden Jokowi melanjutkan kunjungannya dengan bertemu Suku Anak Dalam (Orang Rimba) di Kabupaten Sorolangu, Jambi yang kini semakin terdesak karna hutan –tempat hidupnya, semakin menyempit akibat eksploitasi besar-besaran perusahaan sawit. Tercatat, Jokowi adalah Presiden RI pertama yang mengunjungi Orang Rimba dan melakukan dialog dengan mereka.

Jokowi menawarkan hunian tetap, sehingga mereka tidak perlu hidup berpindah-pindah (nomaden) lagi. Apresiasi positif bagi Bapak Presiden yang memberikan pengakuan pada keberadaan masyarakat adat Orang Rimba dengan memperhatikan hak hidup mereka.

Namun, disinilah masalahnya!

Turun-temurun sejak leluhurnya, Orang Rimba menjelajah hutan Sumatera, hidup berpindah, beranak-pinak, turut menjaga kelestarian tempat tinggal (hutan) mereka dengan kepercayaan dan kearifan budaya lokal, yang disebut sebagian besar masyarakat modern sebagai ‘primitif’. Primitif yang dijual dengan merk Warisan Bersama Umat Manusia (the common heritage of mankind) ternyata dimaknai tak lebih dari sebuah slogan-dagang, tanpa memperhatikan sejatinya hak masyarakat adat (indigenous rights). Dijual sebagai tayangan televisi, dan proposal Program Pembangunan Masyarakat dalam target pembangunan milenium (MDGs).

Kini, warisan itu ingin lebih dimodernisasikan dengan arogansi superior: “cara hidup yang baik, adalah cara hidup seperti kami.” Maka berbondong-bondonglah masyarakat modern ‘mengejar’ mereka; memintanya keluar dan tinggal di luar hutan, memaksa mereka untuk ‘layak’ berpakaian dan menjejali mereka dengan keyakinan/kepercayaan yang asing. Keaslian mereka dikekang dan semakin jauh dari ruang hidup yang mereka kenal –budaya rimba. Kemudian, dengan lemahnya ikatan Orang Rimba pada ruang hidupnya, terbacalah sebagai jalan mulus bagi ekspansi lahan bisnis perusahaan.

"Hutan sudah tidak ada yang jaga, orang-orang hutannya sudah pindah.. bebas deh lahannya kita pake!" begitu kira-kira yang ada di pikiran mereka. Selanjutnya mereka bebas masuk ke wilayah yang kini sudah tidak ditempati lagi oleh Orang Rimba. Sedikit kong-kali-kong dengan orang departemen, jadilah patok lahan mereka geser. Kian lama kian masuk ke perbatasan zona penyangga taman nasional yang semestinya steril dan tidak diperjualbelikan.

Perhatian pemerintah pada hak hidup masyarakat adat adalah baik, dan akan lebih terpuji jika dilakukan tidak hanya ‘sak dadine’ –sekedarnya. Alih-alih menjamin hak hidup warga negara, kebijakan sak dadine justru akan berujung pada pemerkosaan budaya yang terstruktur. Terbata-bata mereka mengikuti kemauan dan kebiasaan orang modern, yang hanya karena tidak ingin beradu-mulut, diikuti saja, tanpa mengerti untuk apa. 

 

Suatu kali berkunjung ke Air Hitam, sebuah kecamatan di tepi Taman Nasional Bukit Duabelas. 
Berderet rumah gaya transmigran, dibangun untuk Orang Rimba.
Kebanyakan dari rumah-rumah itu ternyata kosong, mereka masih di dalam hutan.
Di sebagian rumah lagi tampak beberapa Orang Rimba sedang beristirahat, tidur malam,
..di teras rumah?

"Kito tidak bisa tidur kalo tidak lihat langit," itu jawab mereka. 

 

Jika Orang Rimba sudah tidak diinginkan lagi berada di “kawasan ekonomis” Taman Nasional (TN) Bukit Duabelas, Jambi, yang kini hanya tinggal seluas 60.500 ha (menurut catatan Yayasan Lestari Hutan Indonesia), berikanlah ruang hidup yang lebih layak di rimba lainnya. Pada provinsi yang sama, masih terdapat TN Bukit Tiga Puluh (144.223 ha), TN Berbak (162.700 ha), dan TN Kerinci Seblat (1.389.509 ha). Sebagai catatan: Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam dalam strata tertinggi yang secara konsensus seharusnya tidak mengalami perubahan kondisi (pristine ecosystem), termasuk luasnya.

Perubahan adalah keniscayaan, namun perubahan juga sebuah konsensus dan pilihan. Ekspresi budaya masyarakat yang lamban bergerak, bukanlah bentuk keterbelakangan. Kini, Suku Anak Dalam Jambi hanya tinggal pasrah dan kembali 'melangun' karna pilihan: dimake-up menjadi orang modern atau tetap bisa menjadi Orang Rimba. (Ad Agung)

*)melangun: tradisi leluhur Suku Anak Dalam (Orang Rimba) Jambi, pergi bersama seluruh keluarga dan harta bendanya untuk berpindah tinggal di tempat lain, dilakukan karena ada anggota keluarganya yang meninggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun