Indonesia dalam konsepsi Negara Hukum (rechtsstaat) yang tertuang dalam UUD 1945, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaats). Konsep ini menempatkan pengadilan sebagai titik sentral yang menganut doktrin; bahwa apa yang diputus oleh hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar, sehingga mengikat sampai tidak dibatalkan oleh pengadilan lain (Res Judicates Pro Veritate Hebetur).
Namun, Harian Kompas dalam edisi 50 tahun (Jumat, 26 Juni 2015) mencatat “Stagnasi Penegakan Hukum” dalam rentang 1983 hingga 2014, atau 31 tahun lamanya yang menimbulkan kerawanan kriminalitas, termasuk di dalamnya korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Demikianlah dramaturgi hukum di Indonesia, sebuah negara yang menganut Prinsip Negara Hukum mengalami keterpurukan hukum yang begitu lama dan berlangsung terus hingga saat ini.
Tidak sekedar menyoroti lembaga peradilan bersama penegak hukum yang telanjur berlabel korup dan bermata pedang tumpul pada para pemegang kekuasaan dan kaum pemodal, baiklah kita melihat kondisi Hukum Indonesia yang ternyata terlewat tradisional. Paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini masih menjadi bahan pelajaran di perguruan tinggi telah menciptakan komunitas hukum dan para professional jurist yang lelah. Alih-alih melahirkan peraturan perundang-undangan dalam ranah penegakan hukum yang menuntaskan masalah, justru menerbitkan persoalan-persoalan baru.
Pola pikir legalistic-positivistik yang dianut oleh kebanyakan kalangan hukum telah berujung pada situasi keterpurukan hukum yang semakin tidak terarah dan menjauh dari prinsip keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Di sinilah tampak bahwa rule of law telah mencapai ambang batas pemahaman tradisionalnya.
Untuk keluar dari polemik dan keterpurukan hukum di Indonesia, maka pemikiran tentang konsep, perspektif, dan paradigma hukum yang sama sekali baru jangan lagi dianggap tabu. Menghidupkan kembali Pandangan Hukum Progresif adalah sejalan dengan program ke-4 Nawacita Pemerintah; melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Membebaskan peraturan perundang-undangan nasional dari kungkungan positivisme hukum yang lebih banyak membentuk law justice sebagai legalitas formal bagi kekuasaan tanpa adanya keadilan sosial (social justice).
Dalam Pandangan Hukum Progresif, manusia adalah sentralitas utama dari seluruh pembahasan tentang hukum. Manusia tidak lagi bisa dimarjinalkan di bawah praktek hukum. Jika prinsip ‘kemanusiaan’ bersama dengan ‘kebenaran’ dan ‘keadilan’ menjadi titik tolak pembahasan, maka faktor ‘etika’ dan ‘moralitas’ dengan sendirinya akan ikut terbawa masuk di dalamnya. Pada akhirnya dalam pelaksanaan hukum positif, teori hukum ditempatkan pada posisi seharusnya yang berlaku efektif, dan para jurist akan menjadi sosok manusia yang sebenar-benarnya, tidak sekedar menjadi manusia robot yang berisi software hukum. (AdA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H