Mohon tunggu...
Mas Acung
Mas Acung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pematangsiantar

Aku tak mau dikenali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rovi Memilih yang Lain

24 November 2024   11:21 Diperbarui: 24 November 2024   11:55 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari menelusup di balik dedaunan rindang, menembusi jendela kamar Rovi. Singgasana Rovi kini tampak kosong. Ia tengah sarapan di saat orang-orang masih bermimpi. Wajar bila gadis itu bergerak secepat itu setiap pagi. Itu habitusnya.  Mungkin, kedisiplinan itu yang mengantarkannya menjadi salah satu mahasiswi terbaik di Universitas Binus.

Rovi kini menjadi guru di SMP swasta di Dolok Parimbunan. Hari-harinya ia sibukan dengan mengajar. Sudah hampir 2 tahun mengajar, sejak lulus kuliah. Dulu, tanpa pikir panjang Rovi langsung menjatuhkan lamarannya ke sekolah itu. Seandainya melamar ke SMPN 1 Jakarta atau ke SMP favorit di Bandung, ia pasti diterima. Mengapa tidak? Rovi adalah guru energik, cerdas dan berprestasi. Tentu, sekolah-sekolah tidak akan menyia-nyiakan orang sepertinya.

Jauh dari bayangan setiap orang, Rovi memilih mengabdi di SMP yang hampir tutup itu. Keputusannya aneh itu telah berulang kali ditanyakan oleh teman maupun keluarganya. Ada saja yang menawarkan SMP yang lebih baik dari segala segi ketimbang SMP tempatnya saat ini mengajar. Tetapi ia tetap kukuh untuk mempertahankan pilihannya.

Arloji di tangan Rovi sudah menunjukkan pukul 05.35. Waktunya untuk berangkat. Ia harus bergoyang lutut sejauh 2 km untuk sampai ke bangkunya di kantor guru. Akses transportasi roda empat ke sekolah itu masih sulit. Jalanan yang memprihatinkan itu hanya dapat dilalui kendaraan beroda dua dan pejalan kaki saja, dengan syarat hujan tak membumi dalam waktu yang lama.

Berjalan 2 km tentu cukup menguras tenaga. Bibir dan tenggorokan Rovi pun mulai mengering. Demi mengilangkan dahaganya, ia meneguk segelas air putih yang telah di siapkan oleh karyawan sekolah. Wajahnya yang sedari tadi tampak lelah, kini sudah terlihat lebih segar. Merasa bahwa tenaganya sudah kembali, Rovi bangkit dari bangkunya dan berderap menuju kelas.

Pagi ini, Rovi mengajar mata pelajaran Ekonomi di kelas IX A. Tak biasanya, bangku Rafael dan Gabriel masih kosong. Sejauh mengajar di sekolah itu, Rovi tidak pernah melihat keduanya terlambat. "Selamat pagi Ibu Guru." Ucap Gabriel dengan nafas terengah-engah. Seisi kelas tertawa melihat wajah kelelahan Gabriel. Bu Rovi hanya tersenyum lalu melerai mereka. Suasana kelas yang tadi berderai tawa, sudah mulai mereda. "Silahkan masuk nak!" ucap bu guru. Gabriel bederap menuju tempat duduknya. Namun terlebih dahulu ia singgah ke meja bu guru dan membisikkan sesuatu. Tamapknya sih, itu sesuatu yang dirahasiakan Gabriel dan bu Rovi.

Bel berteriak sebagai tanda pelajaran di mulai. Hening. Andai sebuah jarum dijatuhkan pasti akan terdengar sangat keras. Inilah salah satu alasan Rovi betah mengajar di sekolah ini. Kehidupan religius di tempat itu masih sangat terpelihara dengan kuat.

Sewaktu istirahat, Rovi mendapat panggilan dari kepala sekolah. Dia menilik hidupnya selama menjadi guru di tempat ini. Apakah panggilan itu berupa teguran, peringatan atau pujian. Seingatnya, guru yang terakhir mendapat panggilan dari kepala sekolah, dikeluarkan. Dia khawatir nasib yang sama akan menimpanya

Rovi telah sepuluh menit berada dalam ruangan kepala sekolah. Kursi yang pada awalnya terasa panas berubah dingin dan empuk. Gadis yang baru saja keluar dari ruangan kepala sekolah itu, dipenuhi sejuta senyuman di bibir. Wajahnya yang semula cantik semakin dipercantik oleh senyuman manis khas miliknya. Tawaran dari kepala sekolah akan membantu dirinya untuk lebih tiba lebih cepat dari biasanya di sekolah . Itu juga akan menghemat lebih banyak waktunya, dan tidak perlu lagi bergoyang lutut sebanyak dulu.

Selesai pelajaran Ekonomi tadi, Gabriel bercerita banyak tentang apa yang tengah dialami Rafael sahabatnya itu. Rafael hari ini tidak ke sekolah karena dia malu bila harus bertemu guru dan teman-temannya. Dia malu karena belum membayar SPP selama tiga bulan. Keluarga Rafael sedang diterpa banyak masalah. Ayahnya mendapat PHK karena tempatnya bekerja dalam ancaman bangkrut, dan harus mengurangi pekerja. Adiknya baru-baru ini membutuhkan biaya pengobatan yang cukup besar. Ibunya tidak memiliki pekerjaan tetap, dan saat ini, juga tidak ada yang menggunakan tenaganya. Sumber penghasilan keluarganya sangat minim dalam bulan-bulan terakhir ini.

*                                                                                                                          *                                                                                                                                     *          

Rovi bergeming. Pikirannya berkutat dengan dua hal. Apa dan bagaimana ia harus memutuskan dua pilihan yang benar-benar berat. Dia dilema. Dilema antara memilih mengurbankan tabungannya untuk persiapan masa tuanya atau menjual motor hadiah dari kepala sekolah tadi. Motor itu diberikan kepala sekolah untuk menghemat waktu dan tenaga Rovi ke sekolah.

"keduanya sama-sama kubutuhkan. Tapi aku harus memilih satu dari keduanya. Bagaimana bila kutanya ibu saja ya" ucapnya untuk dirinya sendiri. Dia memainkan jarinya, mencoba untuk menjatuhkan melalui kata-kata yang berhenti di jari terakhir. Sejenak, dia ragu dengan pilihan yang jatuh pada jari terakhir. Dia memutuskan untuk menelpon ibunya. Ibu menjadi tempat terakhir untuk membantunya.

"Halo ma. Mama lagi sibuk? Aku mau cerita nih ma." Ucapnya begitu telepon dari seberang tersambung.

"Tidak. Mama tidak sibuk." balas wanita paru baya dari seberang.

Begitulah, Rovi menceritakan semua yang ia alami. Mulai dari masalah muridnya, bantuan dari kepala sekolah, pilihan tabungannya, dan rencananya untuk membantu Rafael. Benar. Pilihan terakhirnya bercerita kepada ibu sangat membantunya untuk memutuskan dilema tadi. Ia memutuskan untuk membantu Rafael dengan menjual motor hadiah dari kepala sekolah itu. Sebenarnya dia juga enggan tuk menjual motor itu apalagi itu adalah motor pemberian. Tapi mungkin, dengan alasan yang jelas dan logis kepala sekolah akan mengerti dan menerimanya.

Pilihan Rovi, menghilangkan kesempatan untuk mengehemat waktu perjalanan ke sekolah. Dia tidak terlalu keberatan untuk itu karena pikirnya pasti akan ada jalan keluar seperti yang ibunya katakan sewaktu bertelepon. Benar. Sebelum Rovi menghilang dari balik kantor kepala sekolah, dirinya kembali lagi lantaran suara dari dalam kantor itu memanggilnya. Ia berputar arah dan kembali ke ruangan itu.

"Ada apa bu?" tanya guru muda itu.

"Kami sangat menghargai ketulusan dan kemurahan hatimu. Sekolah bangga memiliki guru seperti mu. Untuk itu, sekolah akan membantu biaya sekolah Rafael dan tetap memberikanmu sepeda motor." Ucap bu Beta menjelaskan.

Siang itu, Rovi kembali ke rumah kontrakan diliputi kegembiraan dan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya. Ia teringat apa yang ibunya katakan tadi di telepon.

"Ibu menghargai segala pilihan dan keputusanmu dalam hidup. Ibu tahu masalah yang ada cukup berat. Ibu tahu kamu membutuhkan motor itu. Tapi, ibu juga yakin bahwa ketulasan hatimu untuk membantu akan memberikanmu jalan yang terbaik di hari-harimu. Ingatlah, Tuhan punya banyak cara untuk menunjukkan kebaikan-Nya. Dia akan memberikanmu yang terbaik jika kamu melakukan terbaik juga kepada sesamamu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun