Mohon tunggu...
Mas Acung
Mas Acung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pematangsiantar

Aku tak mau dikenali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagaimana Jiwa Kami Dapat Tenang

17 Agustus 2024   22:30 Diperbarui: 18 Agustus 2024   21:18 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah lelaki tua itu memerah. Ia geram melihat tingkah manusia di hadapannya. Keriput di wajahnya, terlihat mengencang. Murka. Dari seberang tiang bendera, dia mengucapkan sumpah serapah. Ingin rasanya memporak porandakan apa yang ditangkap matanya. Tetapi ia masih mengharapkan kumpulan manusia itu dapat berubah. Setidaknya sedikit memperbaiki moralitas yang kian melorot.
Lelaki muda, di sebelah lelaki tua itu tersenyum sinis melihat hal serupa. Dalam hati, dia kesal dengan apa yang terjadi di depan matanya. Bukan tanpa alasan. Kelakuan orang-orang di seberang menusuk dan menyayat-nyayat hatinya. Rasanya, luka yang terlahir karena perjuangan dahulu kembali menganga dan darah mengucur di sekujur tubuhnya.
Wajah kedua lelaki yang berdiri tak jauh dari tiang bendera itu, terlihat menahan perih. Bersamaan, keduanya kembali ke memori masa dulu. Mereka teringat akan teman-teman seperjuangan yang berguguran di medan pertempuran. Lelaki yang lebih tua itu, mulai terisak ketika bayangan sahabat kecilnya hadir di ingatannya. Sahabat kecilnya itu mati di pangkuannya setelah telur dari senjata api itu menetas tepat di kepala. Wajah adik yang juga ikut bertempur bersamanya, hadir dalam kenangan itu. Ia menangis, lalu berteriak sekeras-kerasnya memaki-maki orang-orang yang tega melakukan semua kejahatan terhadap dirinya, orang-orang dan negeri tercintanya ini. Namun, teriakan dan tangisan itu hanya bisa di dengar oleh pria di sebelahnya.
"Sudah lah mas. Cukup. Jangan bersedih lagi dengan apa yang telah terjadi." Ucap pria yang lebih muda, di sebelahnya.
"Jika saja orang-orang ini tidak bertindak seperti ini, mungkin aku tak sesedih ini." Ucap pria tua itu sambil menunjukan kumpulan orang di hadapannya. "Mereka-mereka ini, dasar manusia yang tidak tahu diri. Sedikit pun mereka tidak menghargai usaha, perjuangan bahkan nyawa kita." Lanjutnya sambil mengepalkan tangannya, geram.
"Aku juga geram dengan situasi ini, tapi sudahlah mas. Aku yakin, bahwa tidak semua orang sezaman mereka ini bertindak demikian. Aku yakin masih ada segelintir orang berjiwa nasionalis dan patriotis tinggi. Memang, mereka ini mengecewakan tapi tak lantas kita menyesali perjuangan kita."
"Memang benar apa yang kau katakan Mal. Tetapi, aku ingin kita tidak Merdeka sekalian, agar manusia itu merasakan betapa sakitnya kita dijajah.
"Itu konsekuensi yang kita terima karena kita lahir dan hidup di zaman itu. Biarkan kesakitan itu kita yang menanggungnya. Biarkan perjuangan kita tidak dihargai. Tetapi kita telah melakukan yang terbaik untuk bangsa kita dan keturunan kita. Jika mereka tidak menghargainya, itu bukan salah kita.
Lelaki tua itu tertegun mendengar penjelasan lelaki muda di sampingnya. "Kemal benar." ucapnya dalam hati. Sebagai pejuang yang dulu mati-matian demi kemerdekaan, tentu hatinya terluka dengan situasi ini. Bersikap bodoh amat, bukan jalan terbaik. Bersikap bodoh amat berarti menjadikan diri sendiri lebih bodoh dari mereka. Ini bukan ciri seorang pejuang karena mengkhianati citra diri sang pejuang.
"Mal, sebenarnya aku menumpukan harapan pada kaula muda kita. Berharap mereka menjadi pejuang-pejuang baru yang berintegritas, nasionalis dan patriotis."
"Aku pun demikian mas. Aku tak ingin jika nanti mereka dijajah lagi oleh bangsa asing. Barangkali penjajahan nanti datang dalam bentuk yang berbeda. Bukan dalam bentuk kekerasan dan senjata tetapi dalam bentuk kecanggihan teknologi. Seperti yang kita lihat saat ini mas."
Kedua lelaki itu terdiam sejenak, mengamati orang muda di hadapannya. Para pemuda pengena almamater itu sama sekali tidak mencerminkan nasionalisme dan patriotismenya. Pikiran, hati, dan fokus mereka hanya pada Smartphone digenggaman tangan. Siapapun akan melarang bahkan marah jika saat-saat demikian benda "bodoh" itu digunakan. Apa sulitnya menahan diri dari benda "bodoh" itu barang sebentar saja. Melepaskan genggamannya dan fokus pada peristiwa tahunan itu. Itu tidaklah sulit bung. Hanya saja mereka tidak mencoba. Bagaimana mencoba bila berpikir demikian pun tidak.
Di sudut lain, kedua lelaki itu memasang tatapan tajam pada beberapa pemuda yang sedang mengobrol. Lagi-lagi, sebenarnya itu tidak masalah bila dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Tidak jauh dari kumpulan pemuda penggosip itu, tatapan mereka terhenti pada pemuda lain yang tega berjongkok bahkan duduk di saat sakral seperti ini. Andai saja mereka sakit, mungkin kedua lelaki itu dapat memakluminya. Nyatanya mereka sehat dan dapat tertawa cekikikan walau hanya terdengar sayup-sayup di telinga.
Dari sejumlah tumpukan manusia hanya ada tujuh belas pemuda dengan wajah serius dan penuh penghayatan. Terlihat jelas bulu-bulu yang menempel di tangannya, ikut berdiri tegak. Pengibaran Sang Merah Putih menjadi momentum paling ditunggu dalam setiap upacara. Nuansa sakral itu seakan ikut naik dan berkibar bersama 'Kain berwarna Merah dan Putih'.
Suara lantang nun tegas sang proklamator, membuat ketujuh belas pemuda itu menahan hempasan air mata. Mereka tampak begitu meresapi setiap kata-kata dalam Proklamasi itu. Rasa haru, juga merinding ketika sang proklamator mengumandangkan ayat-ayat yang membawa Indonesia pada kata 'Merdeka'. Proklamasi. Kata-kata itu menggetarkan jiwa, merobek-robek hati, dan membakar semangat juang untuk menumpas seluruh penjajah di negeri tercinta. Suara sang proklamator terdengar begitu mirip dengan Bung Karno, sang Presiden pertama Indonesia. Lantang, tegas dan penuh wibawa. Lagi-lagi kedua pria itu memandang takjub ketika proklamasi dibacakan. Kembali teringat teman-teman seperjuangan yang satu per satu habis di meluluhlantahkan si "bengis", begitu mereka menyebutnya.
Suasana penuh kesakralan, saat Proklamasi dikumandangkan, membuat mereka betul-betul bernostalgia dengan "dunia penuh rintihan" itu. Andai saja mereka bisa didengar oleh orang-orang di hadapannya, tentulah suara tangisan yang mereka dengar, tentulah teriakan geram sang pejuang yang memekik di telinga mereka. Andai saja mereka bisa dilihat, tentulah raut wajah kesedihan itu yang akan orang-orang muda itu tatap, tentulah bekas-bekas luka tembak, sayatan dan pukulan yang mereka pandang.
Rasa kecewa melihat generasi muda yang sudah kehilangan semangat nasionalis dan patriotis, membuat kedua lelaki itu pergi dengan meninggalkan satu pertanyaan mendalam.
"Bagaimana jiwa kami dapat tenang?" Ucap sang lelaki tua itu sembari menghela napas panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun