Mohon tunggu...
Mas Acung
Mas Acung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pematangsiantar

Aku tak mau dikenali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Versi Ayah

14 Mei 2023   17:41 Diperbarui: 14 Mei 2023   17:47 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Potongan martabak di tangan kiri aku siapkan untuk ibu dan tangan kanan untuk ayah. Aku menyuapkannya sekaligus, dengan sengaja membelokkan sedikit dari arah mulut mereka dengan satu tujuan yakni membuat mereka belepotan.

Aku tersenyum melihat mereka yang kini sudah belepotan dengan cokelat di tepi mulut. Ayah dan ibu saling bertatapan dan saling menertawakan satu sama lain. Akhirnya tawa kami pecah dan memenuhi ruang menonton tv. Huh, itu adalah momen paling membahagiakan yang pernah aku alami, setelah sekian lama kami tidak pernah bersatu seperti ini.

Aku bergegas merapikan bungkus martabak dengan jurus jituku. Apalagi kalau bukan jurus meremukkan. Ini sudah biasa juga aku lakukan kala peliknya hidup di masa silam. Yah, ratusan kardus yang pernah menjadi korbanku, bisa kalian tanya jika kalian tidak percaya. Terkadang, meremukkan aku lakukan bukan hanya sekadar memperkecil bentuk benda itu tetapi sekalligus sarana penyalur emosi yang sudah tak tertahankan.

Aku sudah kembali duduk di takhtaku tadi. Aku ingin melanjutkan lamunan yang sejenak terhenti. Maaf koreksi. Bukan lamunan, tetapi lebih tepatnya angan-angan atau ancang-ancangku di masa kelak. Mungkin saat ini, aku sudah bisa bermimpi akan masa depan yang mungkin akan indah. Aku berani bermimpi karena aku yakin dengan situasiku saat ini, aku bisa mematahkan anggapan atau ramalan orang akan masa depanku. Kalau saja aku masih diposisiku yang dulu, jangankan untuk bermimpi, mengagkat dagu saja aku tak akan berani. Jika orang bilang "kubur mimpimu", perkataan itu tidak mempan bagiku karna aku tak layak bermimpi. Jadi aku tak punya mimpi untuk dikubur. Huft...sungguh hidup yang menyedihkan.

"Aku mau jadi apa ya?" batinku sambil mengantuk-antukkan telunjuk kananku ke pelipisku.  Sudah hampir setengah jam, aku belum memiliki gambaran tentang angan-angan yang mungkin bisa disebut cita-cita itu. Pertanyaan sederhana yang cukup sulit dijawab. Aku terjebak dengan pertanyaanku sendiri. Aku menghela nafas panjang. "Ternyata, bermimpi itu tak semudah yang kubayangkan." Batinku lagi.

Pria berpakaian rapi itu berjalan dengan cepat. Ntahlah, apa yang saat ini dirinya kejar. Dari kecepatannya sih, dia tidak sedang mengejar pencuri. Mungkin saja dia sedang menghindari seseorang. "Ah, apa peduliku ya?" tanyaku bodoh. Kini, aku hanya mengamat-amati dari kejauhan. Kembali aku meneruskan buku bacaanku.

Lagi, pria yang tadi berjalan cepat itu, berjalan lagi ke tempat semula. Aku memerhatikan gerak-geriknya dengan begitu kuat. Tak sedetik pun aku melepaskan pandanganku dari tubuhnya. Aku kehilangan focus terhadap buku yang sedari tadi kubaca. Kututup dan kutidurkan di kresek yang memang sengaja ku bawa untuknya. Tatapanku masih melekat padanya. Aku tak akan melepaskan tatapanku karena ada rasa aneh yang menggangguku. Seperti ada suara yang membujukku untuk menemuinya.

Bingung. Aku bingung. Suara itu semakin kuat memerintahku untuk menemui pria tua itu. Padahal aku tidak kenal siapa pria itu. Tapi anehnya, seperti ada getaran di antara kami yang kurasakan. Bukan. Itu bukan getaran cinta. juga tidak logis bila seorang bocah mencintai lelaki tua.

Sudah hampir 10 menit berlalu, pria itu dan pandanganku masih setia dalam posisi yang sama. Dalam keraguanku, kuberanikan untuk memutuskan untuk menemuinya. Tujuanku hanya ingin membantunya jika ia sedang berusaha mencari sesuatu. Aku bangkit meninggalkan markas semir sepatuku. Berderap menuju pria berpakaian rapi itu.

"Maaf, Pak. Ada yang boleh saya bantu?" tanyaku penuh takut. Pria itu masih memandangiku dengan wajah amat serius. Rasa takutku semakin menjadi-jadi. Pasalnya, kala itu, banyak penculikan anak. "Jangan-jangan aku akan menjadi korban penculikan?" tanyaku dalam hati. Aku membuang jauh-jauh pikiran itu. Aku yakini saja bahwa pria tua di hadapan ku ini adalah pria baik-baik.

"maaf ...." Ketika ucapanku belum selesai, pria itu sudah tersadar. Ia menatapku dengan senyuman. "Putriku." Gumam pria itu. Aku tidak menangkap begitu jelas gumaman itu. Tapi aku tersenyum saja sebagai tanda kesopanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun