Mohon tunggu...
Adrianus Jefri Lopes
Adrianus Jefri Lopes Mohon Tunggu... Petualangan -

Hanya Budaya yang dapat mempersatukan kita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Timor Vs Kota Bunga

12 Maret 2015   20:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:45 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

=

Pagi telah tiba, sementara mentari enggan menampakan dirinya. Riuh ramenya aktifitas kota ini tak lekas mengajakku untuk bergegas. Ditemani segelas kopi, kududuk di depan bilik kamar kos. Entah mengapa, pagi ini, suasana hati berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Kudapati, pagi ini, seakan hatiku dingin. Membeku. Kuambil sebatang rokok lalu membakarnya. Pikirku dalam hati, hingga kuhabiskan rokok ini, dapat mencairkan kemballi hati ini. Sulutan pertama, kepulan asapnya bertebar beraturan mengikuti hembusan angin. Kusulut lagi dan lagi, hingga akhirnya menghantarku pada suasana dusun itu, kampung halamanku yang nun jauh di sana. Di saat-saat terakhir aku meninggalkan kampung halaman itu. Kampung dimana aku lahir dan dibesarkan. Sebuah desa terpencil, yang masih terpelihara alam dan budayanya. Persis di bawah puncak gunung itu, disitulah rumah kedua orang tuaku.

***

Waktu itu. Tepat pukul 04.30 packingan bekal perjalanan telah disiapkan Bapa dan Mama semalam suntuk. Pagi itu, dengan susah payah, Bapa, Mama dan beberapa keluarga yang lain, kami menelusuri jalan 1 kiloan penuh bebatuan. Bersama-sama mereka mengantarku, hingga tibalah kami pada tempat menunggu angkutan kota. Memasuki jalan raya umum, sangat terasa hiruk pikuk kendaraan dari desa ke kota. Lalu lalangnya orang-orang itu, membuatku mengerti arti kesibukan dengan berbagai kepentingannya, sebagaimana tujuan perjalananku sendiri, meninggalkan kampung halaman dengan keunikannya untuk menuntut ilmu.

Jemariku mulai goyah. Kegelisahan terus membayangi. Di hadapan kedua orang tuaku, sejenak aku tertunduk dan bertanya dalam hati. Akankah kebersamaan kami di kampung itu berakhir di persimpangan jalan ini? Ahhh ...semangat!! Jangan ragu-ragu kata hati kecilku, mencoba menegarkan diri. Waktu mendengar klakson bus kota, aku seakan tak kuat menahan air mata ini. Tatkala pupil mataku mendapati kesedihan yang terpatri begitu dalam di wajah kedua orang tuaku. Mama mendekatiku, seraya dengan ketulusan hatinya ia berujar, ‘’nak ke sana sekolah baik-baik ya karena kita orang susah. Ingatlah selalu keluarga dan jaga diri baik-baik di sana”.

Tak kuat membendung sedih. Tak bisa ku jawab dengan kata. Hanya air matalah yang dapat mengerti arti sebenarnya dari semua pengorbanan kedua orang tuaku di kampung terhebat dalam hidupku itu. Yah...air matalah satu-satunya bahasa kalbu yang mampu mengungkapkan isi hatiku saat itu pada mereka.

***

Perjalanan dimulai. Waktu itu senin 27 April 2011, pukul 06:30 adalah jadwal penerbangan pesawat yang aku tumpangi. Untuk sampai di tempat tujuan sekolahku, paling tidak butuh waktu setengah hari. Bus yang kutumpangi mengantarku pada persinggahan kota pertama, ibukota propinsi NTT. Di sini aku harus nginap semalam, sebelum berangkat lagi menggunakan pesawat.

Gemuruh suara pesawat di bandara pagi itu, membuatku tersentak bercampur sedih. Sehabis check in, di ruang tunggu, kududuk bersebelahan dengan seorang bapak berjas hitam. “Mau ke mana pak?” tanyaku memulai percakapan diantara kami.

“Surabaya” jawabnya. “Sebaliknya”? lanjutnya lagi.

“Saya ke Malang pak”.

“Ke sana mau kerja apa kuliah dek”?

“Kuliah pak”.

“Lho....kenapa tidak di daerah sendiri kulianya, kok harus jauh-jauh ke Jawa?? Sahutnya. “Mungkin saja fasilitas dan suasanannya berbeda pak”. Jawabku sekenanya saja. Tanpa berpikir panjang, lanjutku “Dan biayanya lebih mahal”. Mendengar itu, dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

***

Satu setengah jam penerbangan, mulai nampak jelas gumpalan-gumpalan asap akibat pencemaran udara oleh banyaknya pabrik kota itu. “Untuk semua penumpang harap tetap menggunakan sabuk pengaman anda, hingga pesawat mendarat”! kata pramugari memecahkan keheningan. Kini tibalah aku di kota yang kedua, Ibu kota propinsi Jawa timur. “Tinggal satu kota lagi yang harus kutempuh” bisikku dalam hati seraya melangkah keluar dari pintu belakang pesawat. Bagai langit dan bumi, terasa suasana sangat jauh berbeda dengan daerahku, Ramainya pengunjung yang memadati bandara itu, sejenak membuatku lupa dusun kecilku.

Juanda, siang itu ternyata ada beberapa teman asal Indonesia Timur. Mereka hendak ke kota Malang, kota dimana menjadi tempat tujuan terakhir perjalananku. Sejenak kuhabiskan waktu untuk berkenalan dengan mereka. Dan kami pun memulai perjalanan, menuju kota itu. Siang menjelang sore, kami telah berada di tempat yang berbeda. Tempat di mana menampung berbagai ras, suku, dan agama. Tempat di mana para mahasiswa mengais ilmu. Tempatnya aku menaruh harap dan mimpi masa depan.

Kini, setahun sudah aku berada di kota yang populer dengan julukan kota bunga, kotanya anak-anak Singo Edan ini. Banyak cerita yang telah kulewati. Banyak kenangan yang terukir. Suka dan duka kota ini, seakan menguatkanku untuk tetap tinggal dan berjuang. Hari demi hari terlewati, seiring waktu yang kian berubah, semangat dan motivasi untuk meraih cita pun kian membumbung. Kelak, aku harus bisa menjadi seorang Jurnalis terkemuka. Membanggakan kedua orang tuaku. Kerasnya persaingan hidup di kota ini, pesan Mama kala itu, semakin menempahku untuk tetap fokus, berjuang hingga tiba waktunya, aku bisa membantu memajukan daerah, dan bangsaku. Inilah mimpiku. Mimpi seorang anak kampung di saat bunga-bunga kota mulai bermekaran.

***

Pada penghujung detik-detik berakhirnya gabus rokok yang kuhisap pagi ini, tiba-tiba suara Gery, teman kos, membuyarkan lamunanku, “Hei Lopes, ayo siap ke kampus. Hari ini kulia pagi jam 07:15...***

#SEKIAN#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun