Drama politik sejak tahun 1998, yang dihiasi dengan Pemilu, baik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Legislatif dan Pemilu Kepala Daerah, telah menyajikan pertunjukan yang menarik terkait dengan kebangsaan kita.
Indonesia, sebagai bangsa, sebagai negara, dalam suatu tatanan ideologi, terlihat memudar dalam segmen-segmen terakhir, yang bahkan mungkin tergeser menjadi suatu lahan, atau sebut saja lahan yang diperjanjikan.
Perebutan kekuasaan dalam momentum transisi politik, berhasil memecah belah rakyat, dan kemudian melahirkan paham-paham pragmatisme yang jauh dari cita bangsa.
Nawa Cita dan Restorasi yang diperkenalkan pemerintahan Indonesia Hebat, terdesak oleh konsolidasi hasrat, yang menjadikan kekuasaan sebagai alat kelompok atau golongan, bukan untuk mewujudkan cita bangsa.
Pertikaian Politik, vertikal dan horizontal, konflik antar institusi, dan tumpang tindih program-program antar institusi, terpelihara, dan menyediakan ruang bagi cecunguk politik yang kehilangan arah dan tujuan.
Ideologi Pancasila, yang mungkin mulai hilang dari nafas anak bangsa, terakhir dengan shyndrom MEA, membuat kita kadang berdesakan, sambil menikam, beriringan sambil menyenggol, dan memanjat sambil saling menjatuhkan.
Intrik dan siasat terselebung dalam setiap drama konflik, menimbulkan ketakutan, memelihara ketertindasan, dan memberi angin penyejuk bagi kaum tergerakkan, merupakan metodologi gerak lurus tak beraturan yang mengantarkan perampok negara lebih leluasa melakukan aksinya.
Sebahagian menjadi berani berbicara tentang korupsi, sambil menikmati kopi bersama koruptor putih di lantai marmer bermerk, dan sebahagian lainnya menata pemberontakan melalui aksi terorisme di sudut kota, dan yang frustasi berkumpul menikmati candu narkotika sebagai bentuk frustasi terhadap negara.
Hari ini, kita disibukkan dengan serangkaian aktivitas menata jalan panjang, mencari daya ungkit strata, dan merebahkan kelelahan dalam dialektika ketuhanan. Pelarian terkahir bangsa dalam kegalauan, menata Ketuhanan, meninggalkan dunia, dan bersyahwat dengan lantunan syair kedamaian jiwa.
Intrik kekuasaan selalu menciptakan keadaan dan peristiwa, yang menggerakkan setiap sub sistem sosial, agar tidak mengganggu kartelisasi dan eksplorasi yang sedang dilakukan.
Tapi tidak semua. Kita semua tetap yakin dan percaya, masih ada anak bangsa, yang penuh kesadaran, merintis jalan menuju revolusi, membuka kembali lembaran sejarah, dan mulai jenuh dengan konsumenariasme yang diciptakan oleh intrik kekuasaan.
Mereka tidak butuh kereta cepat untuk ke Bandung, yang mereka butuhkan adalah sistem Pendidikan yang lebih baik di Kota Bandung. Mereka tidak butuh menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan menyediakan sejumlah uang, yang mereka butuhkan hanya secuil trotoar untuk persinggahan bagi yang lapar di malam hari.
Kita optimis, dan selalu positif, dengan penuh keyakinan, bahwa intrik kekuasaan itu akan segera tergilas oleh doa mereka yang terlanjur bersimpuh dengan doa terbaik untuk bangsa dan negara. Kita tidak letih!
Acram Mappaona Azis
Hitam Putih Institutte
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H