Kasus Poligami menjadi menarik saat ini karena datang dari figur yang selama ini seringkali menyodorkan indahnya berumah tangga, nah..mengingat sebagaian umat ada yang terlalu berharap banyak pada tokoh panutannya, dan secara kebetulan tokoh tersebut seringkali membahas (menghindari kata memamerkan) indahnya kerukunan rumah tangganya, maka munculah 2 kelompok di masyarakat. Hal ini terlihat dari adanya komentar dari yang pro pada tokoh tersebut, ada kelompok yang menganggap poligami itu sunat sebagai pembelaan pada tokoh panutannya, dan yang kontra beranggapan poligami itu tidak boleh. Argumentasi yang disampaikan oleh 2 kelompok ini seringkali menggunakan bahasa agama sebagai sebuah pembenaran atas pendapatnya.
Mengingat argumentasi yang ada seringkali menggunakan bahasa agama, maka menjadi sangat penting dipahami tujuan dari disyari'at (maqoshidu asy-asyar'i) itu sendiri, yaitu:
- Memelihara Agama (hifdzu ad-diin),
- Memelihara harta (hifzdu al-maal),
- Memelihara jiwa (hifdzu an-nafsi),
- Memlihara kehormatan (hifdzu al-'irdl),
- Memelihara keturunan (hifdzu an-nasl)
Sebagain besar ulama mujtahid berpendapat bahwa sumber hukum islam ada 4 yaitu Al-Qur'an, Hadits (Sunnah Nabi), Ijma' (Konsensus ulama), dan Qiyas (analogi hukum).
Kembali kepada masalah poligami, dalam menyikapi Poligami, perlu didahului dengan pemahaman yang jelas tentang makna SUNNAH Nabi. Betul bahwa Poligami memang SUNNAH Nabi, tapi tidak serta merta poligami itu hukumnya sunat, karena definisi dari Sunnah Nabi adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi. Dari Sunnah nabi itulah akan melahirkan 5 hukum bagi ummatnya yaitu wajib, sunat, makruh, haram, dan mubah (boleh).
Jika hukum poligami dianggap sunat, maka akan berakibat pada pemahaman bahwa yang berpoligami mendapat pahala karena poligaminya an sich, sebaliknya jika hukum poligami dianggap haram (terlarang), maka yang melakukan poligami akan dianggap berdosa. Dari kedua pemahaman ini melahirkan anggapan miring pada nilai-nilai keislaman sebagai sebuah Agama.
Lain halnya jika hukum poligami dianggap sebagai sebuah perbuatan yang MUBAH (boleh) saja, maka keterkaitan pahala atau dosanya bukan pada perbuatan poligaminya itu sendiri, melainkan dilihat dari apa penyebab yang mendorong seseorang melakukan poligami dan akibat yang ditimbulkannya.
Berdasarkan faktor penyebab dan akibat inilah akan berdampak pada hukumnya. Wallahu 'alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H