Kalau kita berbicara mengenai dakwah dan kekuasaan, seolah-olah kita sedang berbicara mengenai dua hal yang kontradiksi. Seperti kita tahu, dakwah adalah menyeru, mengajak orang kepada kebaikan dan tentunya dengan cara-cara yang baik, sedangkan kekuasaan cenderung lebih banyak berurusan dengan kepentingan dan biasanya sering menggunakan berbagai macam cara, tidak peduli baik atau tidak, asalkan kekuasaan itu dapat diraih. Bahkan pada perbenturan kepentingan, kekuasaan cenderung menarik garis batas antara kawan dan lawan walaupun ada adagium di dunia politik: tidak ada kawan atau lawan abadi di dalam politik (kekuasaan). Persepsi negatif ini wajar muncul karena beberapa orang (bisa jadi mayoritas) yang diberi kesempatan untuk berkuasa ternyata tidak mampu memanfaatkan kekuasaan itu untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Malah sebaliknya, kekuasan itu dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan justifikasi tindakan kesewenangannya.
Bahkan pada dekade 1990-an menjelang reformasi, Nurcholis Madjid (alm), mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pernah mengeluarkan pernyataan yang dinilai banyak pihak sebagai pernyataan cukup keras. “Islam Yes, Partai Islam No” Pernyataan dari seorang tokoh Islam ini memang keras dan paling tidak, telah membuat orang-orang yang tersindir menjadi “merah kupingnya”. Sudah tentu pernyataan yang dikeluarkan tokoh Islam yang satu ini mempunyai dasar kuat. Paling tidak, saat itu barangkali ia sudah merasa “muak” dengan ulah para politisi pemimpin yang memegang kendali partai berbasis Islam di Indonesia. Mereka seakan sangat sulit untuk “bersatu” memimpin satu partai besar yang didasarkan pada ajaran-ajaran dalam syariat agama Islam di Indonesia.
Realitas yang menggejala di tengah umat ini akhirnya memposisikan dakwah (Islam) agar tidak perlu dekat-dekat atau bahkan tidak perlu dicampuradukkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan. Apakah memang di dalam ajaran Islam harus seperti itu?
Bernard Lewis seorang sarjana Barat memberikan gambaran sebagai berikut:
“Persembahkanlah kepada kaisar apa-apa yang menjadi milik kaisar dan kepada Tuhan apa-apa yang menjadi milik Tuhan. Tentunya ini adalah doktrin dan praktek Kristen. Hal ini benar-benar asing bagi Islam. Tiga agama besar di Timur Tengah memiliki banyak perbedaan dalam hubungan mereka dengan Negara dan sikapnya terhadap kekuasaan. Agama Yahudi dipertalikan dengan kekuasaan meskipun demikian dipisahkan darinya, bentrokan mereka dengan agama pada saat sekarang ini menimbulkan problem-problem yang belum terpecahkan. Selama abad-abad pembentukan eksistensinya, Kristen terpisah dan bahkan antagonisitik dengan kekuasaan, baru dikemudian hari mereka menjadi terlibat. Sedangkan Islam sejak dari masa pendirinya adalah sebuah negara (kekuasaan) dan pertlian antara kekuasaan dan agama tertancap tanpa dapat terhapuskan di dalam ingatan dan kesadaran pengkut-pengikut setianya di dalam kitab suci, sejarah dan pengalamannya. (DR. Zainuddin S. Nainggolan. MA, Inilah Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2004)
Demikian penilaian di dalam agama Kristen dan agama Yahudi, sedangkan di dalam Islam lebih jauh Bernard Lewis berpendapat:
“Bahwa Nabi Muhammad SAW disamping dia sebagai seorang Nabi, dia juga sebagai kepala negara, pendiri suatu Negara dan pengikut-pengikutnya didukung oleh satu keimanan atas tanda-tanda kebesaran Tuhan. Inilah penyebab utama atas kemenangan umat Islam. Dengan demikian Islam sudah dipertalikan sejak awal dengan pemerintahan (kekuasaan), komunitas, dan politik, ini dapat dilihat dalam Al Qur’an itu sendiri”.
Apabila kita menyimak pendapat Bernard Lewis di atas, seolah-olah terdapat kontradiktif dengan pendapat mayoritas umat Islam sekarang ini, yang justru berpendapat bahwa kekuasaan itu tidak harus dicampuradukkan dengan dakwah (agama). Padahal dalam Al Qur’an sudah jelas tentang ajaran Islam mengenai kekuasaan, diantaranya:
Bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi. (Q.S Al Baqarah : 30)
Penguasa atau Khalifah dimuka bumi haruslah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.
Kekuasaan adalah suatu karunia Allah yang merupakan satu amanah kepada manusia untuk dipelihara dengan sebaik-baiknya pula sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan dalam al Qur’an dan al Hadits.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!