[caption id="attachment_316863" align="aligncenter" width="180" caption="Setangkup kinang (daun sirih, kapur sirih- injet, tembakau, dan bunga kantil) - dok. 7 januari 2014"][/caption]
Kinang, identik dengan snack para nenek, terutama nenek-nenek yang bersuku jawa (yang saya tahu). Dari nenek kami yang sudah berumur lebih dari seratus tahun, saya tahu, “nginang” (begitu nenek kami menyebutnya), adalah merupakan ritual/ tradisi yang dilakukan setelah selesai makan. Makan tiga kali, maka “nginang” juga tiga kali. Dan ternyata, mengunyah kinang, adalah tradisi sekaten. Lantas, apakah mengunyah kinang saat sekaten hanya sekedar mengunyah selembar daun sirih semata??
Kami bersyukur sekali, liburan kami untuk yang kedua kalinya ke Yogyakarta, masih bisa melihat acara sekaten di Yogyakarta pada tanggal 7 Januari 2014 lalu. Informasi tentang tanggal pelaksanaan ritual sekaten itu kami peroleh dari seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta. Ya, jelang akhir tahun 2013, kami berkesempatan untuk mengunjungi Keraton Yogyakarta, sehingga saat ada kesempatan untuk mengombrol dengan abdi dalem (tanpa menggangu tugasnya), maka kesempatan itu kami gunakan untuk menanyakan informasi pelaksaan Sekaten.
[caption id="attachment_316864" align="aligncenter" width="180" caption="Ketika saya membeli satu tangkup kinang...(dok. 7 januari 2014)"]
Sebelumnya, saya pernah menuliskan pengalaman kami saat Sekatenan di Yogyakarta tahun 2013 lalu, yang pertama tentang arak-arakan turunnya benda pusaka keraton (Kyahi Gunturmadu dan Kyahi Nagawilaga), (baca di sini) dan juga sego gurih-nya Sekaten, (Baca di sini). Maka kali ini saya akan menuliskan tentang tradisi kinang yang selalu menyertai dalam perayaan sekaten. Bukan sekedar tradisi yang terus dipegang teguh (khususnya untuk bagi para abdi dalem Keraton Yogyakarta). Namun ternyata kinang, yang terdiri dari daun sirih (salah satu komponennya), mempunyai arti yang sangat penting dan bermakna bagi kita sebagai manusia.
Sekaten tahun lalu (17 Januari 2013), waktu itu saya begitu penasaran sekali, dalam hati bertanya “sebenarnya nenek-nenek yang ada disekitar halaman masjid Agung Kauman itu menjual apa?”. Mereka (para nenek) tadi menjual “sesuatu” yang terbungkus dengan daun dan terlihat ada bunganya. Baru sekaten tahun ini 2014, kami mengetahui bahwa “sesuatu” yang dijual para nenek itu adalah kinang. Dari mana kami bisa tahu?? Dari obrolan singkat dan hangat dengan salah satu abdi dalem keraton yang begitu ramah.
Kinang yang ada dalam tradisi sekaten, komposisinya kurang lebih sama dengan yang biasanya dikunyah nenek kami. Terdiri dari daun sirih, kapur sirih (biasa disebut injet oleh nenek kami) yang saya tahu berwarna putih, gambir, ada potongan tembakau, dan juga tak lupa selalu menyertakan bunga kantil. Ya, bunga kantil, bunga yang begitu ditakuti dikalangan warga desa didaerah asal, karena konon katanya, pohon bunga kantil adalah tempat kesukaan para lelembut/ mahkluk halus, ditambah lagi dengan baunya yang semerbak harum. Itulah campuran kinang dalam perayaan sekaten di Keraton Yogyakarta.
Setelah benda pusaka keraton diletakkan ke pagongan masing-masing dan gamelan mulai dibunyikan, saat itu terlihat banyak warga yang menyaksikan turunnya benda pusaka keraton, membeli kinang yang telah dibungkus dengan sedemikian rupa oleh para penjualnya. Ada yang membeli hanya sebungkus, ada juga pembeli yang memborong kinang, bisa membeli sampai lima kinang. Dan...sayapun tak ketinggalan, diperayaan sekaten tahun ini, saya membeli sebungkus kinang yang harganya Rp 1.000;.
Dari penuturan seorang nenek abdi dalem Keraton Yogyakarta, dengan mendengarkan gamelan berbunyi dan disertai dengan mengunyah kinang, dipercaya akan menjadikan kita awet muda serta panjang umur. Kemudian sang nenek berkata hangat sembari tersenyum, “ya begitu katanya...awet muda....tapi ya saya tetap tua juga...”. Mendengar akan kepercayaan awet muda dan panjang umur itu saya langsung teringat nenek kami yang punya ritual “nginang” setelah makan. Boleh percaya atau tidak, nenek kami diumurnya yang sudah lebih dari seratus tahun, berderet gigi bagian depan masih utuh, hanya gigi bagian belakang yang sudah habis/ ompong. Ya,tradisi mengunyah kinang masih ada dari jaman dahulu hingga saat ini, yang dilakukan oleh para warga yang masih memegang kepercayaan, terutamanya tentu bagi para abdi dalem Keraton.
Tapi tahukah kawan sekalian, mengunyah kinang bukan hanya sekedar tradisi sekatenan semata. Mengunyah kinang memiliki arti yang begitu besar dan tinggi, dalam perpaduan rasa yang ada didalamnya. Sudah tahu rasanya “nginang”? Silahkan dicoba bagimana rasanya mengunyah kinang. Ya kinang yang dikunyah akan memiliki perpaduan rasa, ada rasa sepet, asam, pahit, pedas, manis, juga asin. Daun sirih sendiri disebutkan memiliki arti bertemunya rasa. Hal ini melambangkan sebuah rasa keingintahuan seorang manusia yang selalu muncul pada sang penciptanya yaitu Tuhan. Selain itu, daun sirih juga berarti tempat bergantungnya hati. Artinya...bila seseorang/ manusia mengunyah daun sirih (nginang), diharapkan dapat memahami ajaran tauhid dengan rasa tersebut.
Tidak hanya daun sirih yang memiliki makna, bunga kantil yang juga satu- kesatuan dalam campuran kinang, juga memiliki arti tersendiri. Pasti kawan sekalian sudah pada tahu kan...bila bunga kantil itu harum sekali. Kini, kita tak perlu untuk takut dengan bunga kantil yang selalu disandingkan oleh lelembut oleh kebanyakan masyarakat. Kawan sekalian harus tahu, tradisi mengunyah kinang dalam perayaan sekatenan, bunga kantil itu artinya ingin selalu bersama Tuhan. Seseorang yang mengunyah kinang dengan menyanding bunga kantil, diharapkan orang tersebut dapa t selalu ingat pada Yang Kuasa, Tuhan. Dengan begitu, setiap apapun tindakan serta perbuatannya didunia, diharapkan tidak melenceng, tidak seenaknya sendiri, tidak semau-maunya sendiri, karena selalu ingat pada Tuhan dan selalu merasa diawasi oleh Sang Penciptanya.
Itulah makna yang terkandung dalam sebuah tradisi mengunyah kinang dalam perayaan Sekaten. Jadi, bukan hanya sekedar percaya atau tidak percaya pada sebuah tradisi Keraton Yogyakarta. Juga bukanlah hanya sekedar percaya bila mengunyah daun sirih sambil mendengarkan gamelan bisa awet muda dan panjang umur. Namun lebih dari itu semua ada yang lebih penting, yaitu filosofinya, bagaimana manusia agar selalu ingat pada Sang Pencipta, Tuhan. Dengan selalu ingat pada Tuhan, maka kita akan selalu merasa diawasi oleh Tuhan, sehingga segala bentuk perbuatan kita didunia tidak akan melenceng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H