Dalam hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat secara langsung tentunya sangat sulit, karena kadang mereka mempertanyakan fenomena yang benar-benar baru yang belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu. Untuk menjawab pertanyaan semacam ini dibutuhkan kemampuan istinbâtul-ahkâm (menggali hukum dari sumber-sumbernya, atau dengan cara mengkiaskan peristiwa baru yang belum ada ketetapan hukumnya dengan peristiwa lama yang sudah ada ketetapan hukumnya).
Nah, untuk menjawab kepastian hukum bagi kasus-kasus yang benar-benar baru itu, jangankan orang yang ngustadz, ustadz sungguhan yang benar-benar top sekalipun masih perlu berpikir beberapa lama, bahkan berhari-hari, untuk nenemukan kepastian hukumnya. Karena ustadz sungguhan yang sudah memiliki ilmu untuk istinbâtul-ahkâm itu masih perlu memastikan secara cermat dalil mana yang pas untuk menjawab pertanyaan itu, atau apakah ‘illah pada kasus baru yang ditanyakan hukumnya itu sudah sama persis dengan ‘illah pada kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya.
Bahkan untuk kemampuan istinbâtul-ahkâm itu, jangankan seorang ustadz sungguhan, seorang mujtahid sekalipun tidak akan terburu-buru untuk menjawab kasus-kasus baru yang dilontarkan kepada mereka. Itulah sebabnya al-Haitsam bin Jamil berkata: “Aku menyaksikan Malik bin Anas (Imam Malik, pendiri mazhab Maliki) ditanya 48 permasalahan, tapi beliau menjawab 32 pertanyaan darinya dengan jawaban ‘tidak tahu’.” Artinya, saat itu Imam Malik masih perlu berpikir panjang dalam rangka istinbâtul-ahkâm.
Lebih dari itu, Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Aku telah bertemu dengan 120 orang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, tidaklah salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah melainkan ia berharap temannya saja yang menjawabnya.” Bahkan konon suatu ketika al-Imam Hasan al-Bashri, pemuka ulama Tabiin di Bashrah, pernah berang dan berujar: “Dahulu Abu Bakar dan Umar masih perlu mengumpulkan para sahabat untuk menjawab suatu persoalan, sedangkan orang di hari ini malah menjawab pertanyaan dari atas keledainya!”
Selanjutnya, kini mari kita bertanya, pernahkah kita dapati seorang ‘ustadz’ di televisi yang ketika ditanya mengatakan “tidak tahu”? Dari sisi ini saja sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa fenomena ngustadz itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya, dan sebetulnya dari sanalah kebingungan umat bermula. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Andai orang yang tidak tahu apa-apa itu diam saja, tentu perselisihan di dalam umat tidak perlu terjadi.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H