“Tidak menghayal apa-apa Pak? Sedang menikmati semilir angin kenikmatan dari Tuhan, mungkin ini diciptakan untuk mengingatkan kita kepada keagungan Tuhan, bukankah begitu Pak?”, aku menjawab sekenanya saja dengan sedikit bumbu senyuman, berharap lelaki tua ini bisa kukelabuhi.
“Dulu waktu aku seusiamu, berbohong kepada Belanda rasanya segan, tetapi sekarang Negeri ini memang tampak suram, kejujuran sudah menjadi barang mahal yang susah untuk di temukan. Orang pintar dengan kepintaran ilmunya justru pandai mengelabui banyak orang. Bau busuk dibalut dengan parfum setebal apapun baunya akan tercium anak muda. Begitu juga kebohongan, dibalut dengan sejuta kata manis bahkan ditambah dengan senyuman sekalipun, jika itu bohong, akan tampak jelas pada akhirnya nanti.” lelaki tua itu berkata datar tanpa ekspresi.
Perkataan lelaki tua itu seperti tombak yang menghujam keras ke tubuhku, dan seketika mendarat tepat dijantungku. Senyum yang tadi sempat mengembang di bibirku kini mengatup secara perlahan.
Aku membulatkan tekad dan memberanikan diri bertanya, “Bapak ini siapa”?
Lelaki tua itu tak lantas menjawab pertanyaanku, dia merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan bungkusan plastik hitam. Ternyata berisi tembakau dan tapir, dia mencomot tembakau lantas membungkusnya dengan sehelai tapir, aku mengamati dengan seksama apa yang dilakukan lelaki tua bersahaja itu. Mataku terus mengamati setiap gerak tubuh lelaki tua di sampingku. Dia memijit- mijit tapir yang berisi tembakau itu sampai berbentuk seperti rokok simbahku.
Sejurus kemudian, Kulihat dia membakar dan menghisap rokok buatannya sendiri,tampak nikmat sekali, sementara aku masih menunggu jawaban dari pertanyaan yang sejak tadi aku lontarkan.
Tanpa harus aku mengulangi tanyaku, lelaki tua itu akhirnya berkata , “Tampaknya sejarah yang benar, belum sampai kepadamu anak muda, atau mungkin saja sejarah Negeri ini sudah pula dipalsukan dengan kebohongan?”
Aku tambah tak mengerti lelaki seperti apa yang sedang duduk bercengkerama denganku saat ini. Belum habis rasa heranku, dia melanjutkan perkataanya, “Anak muda, waktu takkan pernah menunggu dan memintamu berbuat lebih banyak untuk hidupmu, agamamu dan bangsamu, tetapi kamu sendiri yang akan menjemput waktu itu.Kapanpun dan dimanapun, manfaatkanlah waktumu untuk berbuat demi sesama, bukan untuk nafsu pribadi”.
Terdiam aku mencerna kalimat yang terlontar dari mulut lelaki tua di sampingku.Sesaat kebisuan menyandera waktu, beberapa detik kami berdua lalui dengan diam. Hanya terdengar suara ranting yang bergesekan terhempas angin.
”Selama ini apa yang kau perbuat untuk bangsamu anak muda?” dia balik bertanya kepadaku.
“Aku masuk jadi kader pergerakan. Sering kali aku ikut demonstrasi turun di jalan, menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, sering juga aku memobilisasi massa untuk aksi di kampus ketika kampus sudah seperti penjara, yang mengekang kebebasan mahasiswa. Aku juga aktif diskusi, seminar kebangsaan dan aktif nulis beberapa literasi”, jawabku dengan bangga.