Mohon tunggu...
Achmed Hibatillah
Achmed Hibatillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

Mahasiswa yang konsisten berjuang untuk transformasi sosial demi terciptanya masyarakat egaliter.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karakter "Ideologi" Pancasila

1 Juni 2023   00:46 Diperbarui: 8 Juni 2023   02:12 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2017 menjadi landasan hukum berdirinya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Menurut Pasal (3) Perpres tersebut, tugas UKP-PIP adalah membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dengan demikian, UKP-PIP memiliki peran dalam memfasilitasi Presiden untuk merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan pembinaan ideologi Pancasila. Unit Kerja ini bertugas untuk menyusun panduan dan arahan yang mendasari upaya pembinaan ideologi Pancasila di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, UKP-PIP juga bertanggung jawab untuk mengoordinasikan berbagai instansi terkait dalam rangka memastikan bahwa pembinaan ideologi Pancasila dilaksanakan secara terintegrasi dan selaras dengan visi dan misi penguasa. 

Setelah itu, terbitlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 mengenai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Jokowi merasa perlu merevitalisasi organisasi, tugas, dan fungsi dari UKP-PIP menjadi BPIP. Adapun Dewan Pengarah BPIP yang menjadi menjabat pada periode 2022-2027 yakni Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua; Try Sutrisno sebagai Wakil Ketua; Wisnu Bawa Tenaya sebagai Sekretaris; Said Aqil Siradj sebagai anggota; Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto sebagai anggota; Andreas Anangguru Yewangoe sebagai anggota; Rikard Bagun sebagai anggota, dan  Muhammad Amin Abdullah sebagai anggota (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia).

Pendirian UKP-PIP merupakan reaksi kelas penguasa dari peristiwa-peristiwa terorisme yang dilakukan oleh kelompok konserfatif, terutama Islam Fundamentalis. Pembentukan unit kerja ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya penguasa untuk memperkuat "ideologi" Pancasila sebagai pijakan moral dan filosofis negara Indonesia dengan dalih "Mempertahankan Bangsa Indonesia dari ancaman terorisme." Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi tantangan serius dari ancaman terorisme yang terkait dengan fundamentalisme, terutama dalam konteks fundamentalisme Islam. Menghadapi hal ini, muncul reaksi balik dari penguasa yang menggunakan jargon-jargon yang seperti demam dengan Pancasila. Pancasila juga dilawankan dengan hal-hal yang bersifat fundamentalisme agama seperti "Pancasila vs Syariah Islam", "Kebhinekaan vs Fundamentalisme", "Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) vs Khilafah", khususnya NKRI Harga Mati, dan lainnya. Jargon-jargon ini digunakan untuk mendukung negara dan penguasa dalam melawan musuh-musuhnya.

Posisi kaum Marxis dalam menghadapi kelompok fundamentalis seperti ini adalah melawannya. Jelas! Hal ini diperlukan untuk melawan gerakan reaksioner yang mengatasnamakan agama. Penting untuk diakui bahwa terorisme dan fundamentalisme agama yang reaksioner merupakan ancaman serius bagi masyarakat pekerja di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun, kita harus mengetahui cara-cara yang tepat untuk melakukan perlawanan tersebut. Dukungan tehadap negara kapitalis dalam melawan gerakan fundamentalis tidak akan menyelesaikan masalah. 

Hal ini tebukti ketika Amerika Serikat (AS) mengkampanyekan Perang Melawan Teror dengan cara-cara yang melanggar demokrasi, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan tentunya memprioritaskan kepentingan kapitalisme atas segala-galanya. Sekitar 100.000 warga sipil Irak tewas sejak invasi Amerika di Irak, huru-hara pasca kematian Ghadaffi terjadi akibat perang melawan terorisme oleh AS, dan sebagainya. Kita harus menanamkan rasa ketidakpercayaan terhadap sistem kapitalisme yang memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan kelas pekerja.

Apakah Pancasila Ideologi?

Pada tahun 1966, Soekarno, mantan presiden Indonesia, menyampaikan pidato yang menyoroti konsep Nasionalisme, Agamisme, dan Komunisme (Nasakom). Dalam pidato tersebut, Soekarno menyimpulkan bahwa sebagai seorang Pancasilais, penting untuk mengakui eksistensi Nasakom dan dengan demikian, juga mengakui keberadaan komunisme di Indonesia. Pidato tersebut menyoroti pentingnya mengintegrasikan tiga elemen tersebut untuk membangun dan memperkuat persatuan dalam kerangka Pancasila. 

Soekarno berpendapat bahwa nasionalisme harus menjadi fondasi yang kuat dalam memajukan bangsa, namun diimbangi dengan pengakuan dan penghargaan terhadap agama sebagai pilar penting dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, Soekarno juga menekankan bahwa mengakui eksistensi komunisme tidak berarti membenarkan semua aspek komunis, tetapi mengadopsi prinsip-prinsip yang relevan dan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Pada intinya, Soekarno memberikan sudut pandang yang menekankan perlunya integrasi dan harmonisasi antara nasionalisme, agamisme, dan komunisme dalam kerangka Pancasila.

Ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan di Indonesia, dia melancarkan kampanye yang keras untuk memberangus gerakan komunisme dengan dalih anti-Pancasila. Hal ini dianggap bertentangan dengan gagasan Nasakom yang pernah dikemukakan oleh Soekarno. Soeharto menggunakan klaim anti-Pancasila sebagai dasar untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memulai era penindasan terhadap orang-orang yang dituduh memiliki keterkaitan dengan ideologi komunis. Banyak orang yang terlibat dalam gerakan komunis atau memiliki pandangan kiri menjadi sasaran operasi militer yang dilancarkan oleh pemerintah, termasuk pembunuhan massal dan penahanan tanpa proses hukum yang adil. Tindakan Soeharto tersebut merupakan suatu kontroversi dan mengakibatkan hilangnya nyawa dan hak asasi manusia yang besar. Kebijakan ini sebagai upaya untuk menghilangkan oposisi politik dan konsolidasi kekuasaan, dan juga sebagai cara untuk menjaga stabilitas politik dan mencegah potensi pengaruh komunis. Yang jelas, kebijakan ini adalah untuk memperkuat borjuasi dalam perpolitikan nasional. Yang kita soroti dari tindakan ini adalah bahwa bertentangan dengan gagasan Nasakom yang pernah diperjuangkan oleh Soekarno, di mana dia menekankan pentingnya mengintegrasikan tiga elemen tersebut dalam kerangka Pancasila untuk mencapai persatuan dan kemajuan bangsa.

Banyak perdebatan terkait posisi Pancasila dalam suatu spektrum politik. Pancasila dapat diklaim oleh kelompok kanan maupun kiri. Kelompok borjuasi maupun proletariat. Dalam hal ini, terdapat ambiguitas posisi spektrum politik dari Pancasila itu sendiri. Pandangan yang memandang Pancasila sebagai sayap kanan atau sayap kiri didasarkan pada penekanan yang berbeda pada sila-sila Pancasila. Beberapa orang menganggap Pancasila sebagai sayap kanan karena sila "Ketuhanan yang Maha Esa" menjadi fokus penting dalam pandangan mereka. Bagi mereka yang melihat Pancasila sebagai sayap kiri, sila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" menjadi landasan utama dalam penafsiran mereka. Perdebatan mengenai posisi Pancasila dalam spektrum politik mencerminkan kompleksitas dan dinamika dalam interpretasi nilai-nilai Pancasila. 

Untuk memahami apakah Pancasila merupakan sebuah ideologi atau tidak, kita perlu memahami pengertian dari ideologi beserta karakter dari Pancasila. Ideologi adalah suatu cita-cita yang merepresentasikan kepentingan kelas atau kelompok tertentu. Sifat dari ideologi adalah eksklusif, atau ia harus bisa diadopsi oleh kelompok yang menggunakannya dan tidak bisa digunakan oleh kelompok lainnya. Ibarat sosialisme dan liberalisme. Sosialisme adalah gagasannya kaum buruh, ia merepresentasikan kepentingan kelas pekerja dan tidak mungkin diadopsi oleh kelas kapitalis. Jika kelas kapitalis mengadopsi sosialisme, itu hanyalah bentuk sosialisme yang utopis. Jika memang mereka benar-benar mengadopsi sosialisme ilmiah, maka hancur sudahlah profit mereka, dengan demikian lenyaplah kapital mereka ke tangan kelas pekerja. Ini bertentangan dengan kepentingan kelas kapitalis, maka tak mungkin kelas kapitalis mengadopsi sosialisme. Demikian pula dengan liberalisme yang tidak mungkin diadopsi oleh gerakan kelas pekerja. 

Disisi lain, Pancasila dapat diadopsi oleh kelompok atau kelas manapun. Pancasila bersifat inklusif dan universal. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki karakteristik yang mampu mencakup kepentingan dan karakter-karakter yang beragam dalam masyarakat. Lima sila dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memberikan landasan yang dapat diakui dan diadopsi oleh berbagai kelompok atau kelas. Ia tak eksklusif. Pancasila tidak secara eksklusif mewakili kepentingan kelas tertentu, melainkan mencerminkan semangat kesatuan dan persatuan dalam kerangka negara yang beragam. Hal ini terlihat dari upaya Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelas yang saling bertentangan. Pancasila dianggap sebagai landasan yang dapat dipahami dan diadopsi oleh semua elemen masyarakat Indonesia tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, agama, atau politik mereka. 

Dengan demikian, Pancasila bukanlah sebuah ideologi. Pancasila tidaklah eksklusif dan hanya mewakili kepentingan kelas atau kelompok tertentu, tetapi merupakan suatu konsep yang dapat diadopsi oleh semua kelompok atau kelas dalam masyarakat Indonesia. Pancasila, di sisi lain, terdiri dari lima sila yang sangat umum. Sila-sila yang secara umum diterima ini memungkinkan Pancasila diterima oleh semua kekuatan politik pada saat perumusannya. Pancasila lebih merupakan asas, landasan bersama, atau semacam kontrak sosial. Kontrak sosial adalah kesepakatan dari para pendiri negara-bangsa mengenai asas-asas yang bisa diterima untuk menjelaskan asal-usul masyarakat serta memberikan legitimasi atas otoritas negara terhadap individu. Konsep tentang kontrak sosial yang muncul pada zaman pencerahan merupakan hasil dari perjuangan ideologis para teoretikus dan filsuf borjuis awal yang hebat seperti Jean-Jacques Rousseau, Thomas Hobbes, John Locke, Immanuel Kant, dan lainnya. 

Oleh karena itu, prinsip kontrak sosial merupakan bagian integral dari perubahan revolusioner menuju revolusi demokratik nasional. Revolusi demokratik nasional merujuk pada perubahan mendasar dan menyeluruh yang melibatkan penggulingan sistem feodal dan pendirian sistem kapitalis. Tugas-tugas dalam revolusi demokratik nasional umumnya diemban oleh kelas borjuis. Tugas-tugas tersebut termasuk pembentukan negara dengan batas wilayah yang jelas serta pasar nasional yang terorganisir, modernisasi masyarakat, dan pengembangan industri nasional. Selain itu, revolusi ini juga berupaya menghapuskan sistem penindasan, di mana pemilik tanah memiliki kekuasaan mutlak atas tanah dan petani harus bekerja dan memberikan upeti, membayar sewa tanah, atau memberikan hasil panen kepada mereka. Reforma agraria menjadi salah satu cara dalam pelaksanaan ini. Selain itu, tujuan revolusi demokratik nasional adalah menggantikan sistem kerajaan dengan republik, menggantikan monarki dengan parlemen, menggantikan sistem teokrasi dengan demokrasi, serta menggantikan kelas bangsawan dengan masyarakat sipil yang setara. Revolusi demokratik juga memiliki tugas penting dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional, membebaskan diri dari penjajahan, dan menjadi negara berdaulat yang merdeka.

Pancasila juga sering dianggap sebagai hasil orisinal dari Indonesia, yang berasal dari penggalian nilai-nilai yang sesuai dengan berbagai adat, norma, dan pandangan di Nusantara. Namun, tak dapat disangkal bahwa Pancasila juga dipengaruhi oleh banyak gagasan dari Liberalisme. Liberalisme, sebagai pendorong revolusi demokratik nasional seperti Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, dan sebagainya, memberikan pengaruh pada Pancasila. Gagasan "Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan" yang terkandung dalam moto "Liberté, égalité, Fraternité" secara tak langsung tercermin dalam Pancasila. Kebebasan dari penindasan dan penjajahan, kesetaraan di hadapan hukum, serta persaudaraan dan persatuan manusia, yang sebelumnya didasarkan pada kesetiaan terhadap dinasti raja penguasa, digantikan oleh semangat negara-bangsa. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam empat sila Pancasila, kecuali sila pertama. Selain itu, gagasan tentang HAM juga menginspirasi sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab." Posisi Pancasila dalam revolusi demokratik nasional serupa dengan Declaration of Independence Amerika Serikat dan Declaration des Droits de L'homme et du Citoyen de 1789 atau "Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga 1789" yang merupakan hasil dari Revolusi Prancis.  

Bagaimanapun juga, Pancasila mengalami banyak keterbatasan akibat revolusi demokratik Indonesia yang terdisabilitasi. Pertama, perumusannya melalui proses kolaborasi dengan rezim fasis kolonial Jepang dan di bawah pengawasan langsung aparat militer mereka. Bagi mereka yang menempuh taktik kerja sama, kolaborasi dengan Jepang memungkinkan Indonesia mendapatkan janji kemerdekaan, pelatihan militer warga melalui Pembela Tanah Air (PETA), serta penyebaran dan perkembangan bahasa Indonesia secara pesat. Namun, hal ini juga diiringi oleh penindasan yang luar biasa, seperti pembubaran semua organisasi kecuali yang disetujui oleh Jepang, penculikan, penyiksaan, kamp kerja paksa Romusha, dan perbudakan seksual Jugun Ianfu.

Tugas penting lain dari revolusi demokratik adalah penghapusan teokrasi dan penggantinya dengan demokrasi. Sebelumnya, dalam tatanan masyarakat feodalisme, institusi kelas penguasa yang umumnya berupa kerajaan, menganut konsep agama resmi negara. Dalam hal ini, terdapat persekutuan antara elit agamawan dan kerajaan, dengan kerajaan mengakui dominasi agama resmi serta hak-hak istimewa para elit agamawan tersebut. Sebagai balasannya, para elit agamawan mendukung kerajaan dengan menyatakan bahwa raja adalah wakil tuhan di dunia ini. Revolusi demokratik melawan dan menghapuskan hal ini, dengan menghapuskan status agama resmi dan menggantinya dengan kebebasan beragama dan beribadah. Agama dipisahkan dari pemerintahan dan negara, dan sekularisasi ditegakkan agar agama tidak lagi dapat dijadikan pembenaran atas kekuasaan dan penindasan. Sayangnya, hal ini belum berhasil dicapai dalam Pancasila.

Ketiga, konsep kesetaraan yang terkandung dalam Pancasila tidak memandatkan penghapusan kerajaan, kebangsawanan, dan segala previlese dari keningratan di Indonesia. Monopoli tanah dan kekuasaan turun-temurun masih dipertahankan, bahkan dilindungi secara hukum dan politik melalui pemberian status Daerah Istimewa. Lebih buruk lagi, hal ini cenderung terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme. Situasinya jauh lebih kompleks daripada keberkuasaan kembali kerajaan setelah kematian Oliver Cromwell di Inggris. Keempat, sebagai hasil dari revolusi demokratik (berupa kontrak sosial), Pancasila tidak memiliki perspektif kelas yang mengarah pada penghapusan kapitalisme. Kekurangan ini dan ambiguitasnya membuat Pancasila rentan menjadi rebutan oleh sayap kanan dan sayap kiri dalam berbagai pertentangan kepentingan.

Karakter Kelas dari Perumus Pancasila

Tiga perumus Pancasila, yaitu Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno, dapat kita telusuri latar belakang kelas mereka untuk memahami karakter kelas yang memengaruhi pembentukan Pancasila. Moh Yamin berasal dari keluarga priyayi yang memiliki posisi terhormat dalam masyarakat Jawa pada saat itu. Hal ini mempengaruhi pemikiran dan pandangannya dalam merumuskan Pancasila. Soepomo, seorang sarjana hukum yang berasal dari keluarga bangsawan Jawa, juga memiliki pengaruh dari latar belakang kelasnya dalam memperkuat nilai-nilai keadilan dan hukum dalam Pancasila. Sementara itu, Soekarno, yang berasal dari keluarga priyayi Jawa, memiliki pengalaman sebagai pemimpin nasionalis kolaboratif dengan rezim fasis dalam melawan penjajahan, yang membentuk visi dan semangatnya dalam merumuskan Pancasila. Dengan mempelajari kelas sosial para perumus Pancasila, kita dapat memahami pengaruh dan karakter kelas dalam pembentukan Pancasila itu sendiri.

Penjajahan Jepang di Hindia Belanda mengubah struktur kelas sosial dengan menggantikan posisi borjuasi besar yang sebelumnya diduduki oleh warga kulit putih Belanda. Imperialis Jepang mengambil alih dominasi ekonomi dan politik, memindahkan posisi borjuasi besar dari Belanda ke tangan mereka sendiri. Hal ini menciptakan strata atas baru dalam masyarakat, di mana borjuasi lokal menjadi borjuasi kecil di "tanah mereka sendiri". Mereka menjadi tergantung pada kapital asing dan memiliki keterbatasan dalam keberdayaan ekonomi mereka. Pergeseran ini juga mempengaruhi dinamika sosial dan politik pada saat itu. Watak umum dari borjuasi kecil adalah oportunis dan pengecut. 

Mereka terhimpit oleh dua kelas besar — borjuasi dan proletariat — sehingga selalu mengikuti gerakan dari kelas-kelas yang menguntungkan bagi mereka. Apabila mereka mendapatkan keuntungan dari borjuasi besar, mereka akan menjilat borjuasi besar. Apabila mereka dihantam suatu krisis, mereka merasakan memiliki kesamaan nasib dengan kelas pekerja, dengan demikian mereka mendukung gerakan kelas pekerja.

Sebagai borjuasi kecil, tokoh-tokoh lokal seperti Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno mengalami ketergantungan pada borjuasi besar atau kapital asing. Mereka harus mengikuti gerakan kelas yang memberikan keuntungan bagi mereka. Watak borjuasi kecil yang umum adalah opportunis dan pengecut, karena mereka harus selalu beradaptasi dengan situasi dan kepentingan yang berbeda. Misalnya Soekarno, ia harus mendapatkan "restu" dari Jepang terlebih dahulu agar Indonesia dapat merdeka. Ini berkaitan dengan watak borjuasi kecil secara umum yang bersifat oportunis. 

Pancasila pun demikian. Ia masih bimbang. Dapat digunakan dengan mudah oleh kelas manapun. Pancasila, sebagai hasil dari perumusan Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno, memiliki kompleksitas yang mencerminkan dinamika sosial-politik pada masa itu. Dibalik itu, para perumusnya memiliki watak kelas borjuasi kecil .

Dari BPUPKI hingga BPIP

Pembentukan Pancasila dimulai dengan pendirian Dokuritsu Jyunbi Chousakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Maret 1945 oleh pemerintahan pendudukan Jepang, yang juga bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Persidangan BPUPKI berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Selanjutnya, pembentukan Panitia Sembilan dilakukan. Versi Pancasila dalam Piagam Jakarta, yang merupakan hasil dari Panitia Sembilan, mencantumkan Sila Pertama yang menyatakan, "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Namun, upaya penghapusan frasa "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dilakukan oleh Hatta sebagai tanggapan terhadap usulan A.A. Maramis dengan melibatkan negosiasi dengan kelompok Islamis seperti Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo. Akhirnya, Pancasila tidak menjadi dasar hukum Islam dan negara Islam, namun juga tidak menjadi dasar negara sekuler. Posisinya berada di tengah-tengah dan ambigu.

Pemilihan Umum tahun 1955 menunjukkan kemenangan Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu 1955 juga memilih anggota Konstituante yang bertugas untuk membentuk Undang-Undang Dasar baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Di dalam Konstituante, terbentuk tiga blok yaitu Blok Pancasila yang terdiri dari PNI, PKI, Republik Proklamasi, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan sebagainya; Blok Islam: Masyumi, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan sebagainya; serta Blok Sosio-Ekonomi: Partai Buruh, Partai Murba, dan Partai Acoma. 

Blok Islam mendorong Islam sebagai dasar negara yang bertentangan dengan Blok Pancasila. Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU, Kiai Ahmad Zaini, menyatakan bahwa Pancasila adalah "rumusan yang ambigu" dan dapat membenarkan keberadaan "penyembah pohon". Sementara itu, perwakilan NU lainnya, Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa makna Sila Pertama Pancasila terlalu kabur dan dapat ditafsirkan oleh setiap kelompok agama sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit presiden yang mengembalikan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dekrit Presiden tersebut dikeluarkan sebagai respons terhadap ketidakmampuan Konstituante dalam mencapai mayoritas dua pertiga suara parlemen mengenai rancangan undang-undang baru. Sebagai gantinya, terbentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat langsung oleh Soekarno. DPR-GR melibatkan perwakilan dari partai politik serta serikat buruh, kelompok petani, dan lain-lain. Namun, keberadaan Angkatan Bersenjata dalam DPR-GR juga diterima dengan konsekuensi pengakuan militer dalam politik.

Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tahun 1959, Soekarno menyampaikan prinsip-prinsip Pancasila dalam pidato-pidato kenegaraannya yang berjudul Manifesto Politik, Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol USDEK), Jalannya Revolusi Kita (Jarek), Membangun Dunia Kembali, Tahun Kemenangan (Takem), Revolusi, Sosialisme Indonesia, Pimpinan Nasional (Resopim), dan Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri). Dalam praktek dan pemikirannya, politik Soekarno dari awal hingga jatuhnya pemerintahannya mencerminkan berbagai kontradiksi. Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, "...kita harus mencari kesepakatan pemahaman. Kita bersama-sama mencari landasan filosofis yang menyatukan, mencari satu pandangan dunia yang kita semua setujui." Namun, setelah Belanda pergi pada tahun 1950-an, Dekrit Presiden, Demokrasi Terpimpin, dan lain-lain semakin mengarah ke kiri dalam praktek dan pemikiran mengenai Pancasila. Soekarno menganjurkan persatuan antara Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) melalui pembangunan Front Nasional, tetapi pada saat yang sama juga membagi kekuatan-kekuatan tersebut, di mana ia menuntut kesatuan dari kelompok kiri dan revolusioner dalam ketiga aliran ini. Ini merupakan pandangan Sukarno tentang "mempersatukan semua kekuatan revolusioner." Sejak tahun 1924 melalui tulisannya "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme," Soekarno telah mendorong persatuan antara tiga aliran ini. Selain itu, Masyumi dan PSI dilarang karena terlibat dalam pemberontakan. Seiring itu, kampanye anti antek neokolonialisme, imperialisme, anti kapitalis birokrat, serta nasakom gadungan juga dilakukan. Hal tersebut memicu respons dari sayap kanan, seperti munculnya Manifest Kebudayaan.

Setelah periode Reformasi, Pancasila kembali menjadi sorotan utama pada masa pemerintahan Jokowi. Pada tanggal 7 Juni 2017, Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) didirikan. UKP-PIP bertugas untuk mengoordinasikan, mengendalikan, dan memperbaiki pengajaran Pancasila di sekolah-sekolah. Yudi Latief menjabat sebagai Kepala UKP-PIP, dengan anggota termasuk Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Mahfud MD, Syafii Maarif, KH Maruf Amin, KH Said Aqil Siradj, Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek. Kemudian, pada tanggal 28 Februari 2018, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk melalui Peraturan Presiden No 7 Tahun 2018. Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, dan Yudi Latief sebagai Kepala BPIP. Komposisi anggota BPIP sama dengan UKP-PIP. Namun, Yudi Latief kemudian mengundurkan diri dari jabatannya.

Kehadiran UKP-PIP dan kemudian BPIP terkait dengan perkembangan gerakan dan ideologi fundamentalis Islam. Beberapa kelompok fundamentalis Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI), berpendapat bahwa Pancasila yang asli adalah Piagam Jakarta. Rizieq Shihab, pemimpin FPI, menyatakan bahwa "Pancasila-nya Soekarno, Ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala." Rizieq juga mengusulkan konsep NKRI Bersyariah, yaitu sebuah negara yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 asli yang diperkuat oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sesuai dengan amanat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di sisi lain, Jokowi menghubungkan Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika, mengedepankan keberagaman, toleransi, serta bersikap waspada dan tegas terhadap organisasi dan gerakan yang menentang Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan komunisme.

Perdebatan antara kelompok fundamentalis Islam dan kelompok nasionalis terkait Pancasila telah memunculkan pertanyaan tentang hubungan antara agama dan negara. Namun, kedua kelompok tersebut tidak berada dalam spektrum progresif. Kelompok fundamentalis Islam menginginkan negara berbasis agama, sementara kelompok nasionalis, meskipun menolak negara agama, ingin negara yang berlandaskan nilai-nilai agama. Dalam konteks konsep ekonomi politik, kedua kelompok tersebut memiliki persamaan, yaitu menganut kapitalisme-neoliberalisme.

Kaum buruh sedunia, bersatulah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun