Pada saat ilmu-ilmu filsafat dipindahkan dari dunia Arab ke Eropa, Eropa sedang dalam periode feodal yang dipenuhi dengan dogma gerejawi. Filsafat dianggap sebagai teologi dan gereja-gereja Eropa mengambil sisi konservatif dari filsafat kuno. Sains, yang dianggap sebagai ancaman bagi kepercayaan gereja, diabaikan dan ditolak sama sekali. Filsafat di Eropa pada saat itu adalah campuran mistisisme Kristen dan idealisme Plato. Salah satu contohnya adalah konsep universalitas Agustin dalam objek-objek materi, seperti manusia. Menurut Agustin, konsep universalitas hanya dimiliki oleh Tuhan, dan bukan oleh manusia. Pemikiran rasional juga dibungkam oleh gereja-gereja Eropa pada saat itu. Kebenaran hanya bisa dimiliki oleh Tuhan, dan manusia tidak memiliki hak untuk memiliki kebenaran tersebut. Akhirnya, kebenaran ini dipegang oleh orang "paling suci", yaitu para pendeta.
Pada masa tersebut, pemikiran kritis terhadap dogma gereja ditekan dan dihentikan oleh institusi gereja. Namun, terdapat kelompok filsuf empirisme yang mulai muncul di Eropa pada abad ke-17. Empirisme adalah bentuk pemikiran yang obyektif dan rasional, yang bertentangan dengan pandangan subyektif yang dianut oleh gereja. Empirisme menekankan pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan yang utama, dan menolak penggunaan spekulasi teologis yang tidak terbukti. Para filsuf empirisme, seperti John Locke, David Hume, dan Francis Bacon, menekankan pada pentingnya observasi dan eksperimen dalam mencapai kebenaran. Mereka mengkritik gagasan-gagasan metafisika yang dipaksakan oleh gereja dan menuntut penggunaan metode ilmiah yang objektif dan terbukti. Pemikiran-pemikiran ini kemudian memunculkan sebuah revolusi ilmiah, yang membuka jalan bagi kemajuan teknologi pada dan ilmu pengetahuan pada abad modern revolusi industri.
Akibat filsafat-filsafat yang berkembang adalah filsafat revolusioner, gereja pada abad pertengahan melarang konsep Ibn Rusyd dan Aristoteles, serta mencoba memengaruhi pemikiran dan ideologi masyarakat dengan ofensifnya. Mereka berusaha untuk mengubah konsep Aristoteles dengan gagasan Plato agar sesuai dengan pandangan gereja. Salah satu tokoh yang memengaruhi pemikiran pada saat itu adalah Aquinas. Dia mencoba untuk mempertahankan dominasi gereja dengan mencampurkan materialisme Aristoteles dengan idealisme Plato. Aquinas mengakui bahwa pengetahuan diperoleh melalui indera, namun ia menekankan bahwa pengetahuan juga harus diperoleh melalui roh. Meskipun begitu, pemikiran kritis terhadap dogma gereja tidak sepenuhnya dihentikan. Filsuf empirisme mulai muncul dengan pendekatan obyektif yang berlawanan dengan pandangan subyektif gereja. Namun, gereja masih terus berusaha memelihara dominasinya dan melarang pemikiran yang tidak sejalan dengan pandangan mereka.
Namun, pada Abad 18, masyarakat feodal mencapai limitnya dengan adanya pertumbuhan populasi manusia dan munculnya kota-kota. Munculnya kelas borjuasi, yang merupakan kelas baru dalam masyarakat, membawa perubahan signifikan dalam pemikiran dan nilai-nilai sosial. Kelas borjuasi merupakan kelas yang berpikiran progresif dan ingin membebaskan diri dari pengaruh dogma gereja. Mereka sangat terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan sains, yang memungkinkan mereka untuk menciptakan teknologi baru dan kemajuan dalam produksi. Gagasan-gagasan baru mulai bermunculan, seperti liberalisme, yang mengedepankan kebebasan dan hak individu. Sains dan pemikiran rasional menjadi sangat penting dalam perkembangan filsafat dan masyarakat pada waktu itu. Kelas borjuis yang baru juga mulai menantang otoritas monarki dan gereja, yang telah menguasai masyarakat selama berabad-abad. Hal ini memunculkan gerakan revolusioner dan perjuangan untuk memperoleh hak-hak asasi manusia yang lebih luas dan lebih adil.
Pada abad ke-18 juga terjadi perkembangan pesat dalam ilmu sains dan teknologi. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran revolusioner yang merongrong hegemoni gereja feodal. Kelas borjuasi yang muncul pada saat itu, sebagai kelas yang memegang kendali dalam bidang ekonomi, mengembangkan sains dan teknologi untuk kepentingan ekspansi dan produksi. Namun, upaya mereka ini menemui hambatan dari gereja feodal yang masih memegang kendali atas kosmologi dan astronomi. Bagi kaum feodal, tanah masih menjadi prioritas utama, sehingga mereka berusaha mempertahankan kosmologi dan astronomi dalam bentuk yang tidak berubah-ubah. Di sisi lain, kaum borjuasi merasa perlunya navigasi untuk kepentingan perdagangan dan eksplorasi, sehingga mereka menolak kosmologi dan astronomi yang hanya bersifat dogmatis dan statis. Akibatnya, kaum borjuasi pada masa itu bersifat revolusioner dalam mencari cara-cara baru untuk memperoleh pengetahuan yang lebih akurat dan berguna untuk kepentingan mereka.
Doktrin gereja tentang kosmologi dan astronomi diperdebatkan oleh para ilmuwan seperti Kepler. Gereja menetapkan bahwa bumi adalah pusat tata surya dan diam di tempat, tetapi Kepler membuktikan bahwa matahari yang menjadi pusat tata surya. Kemajuan metode empiris dalam sains, yang dipelopori oleh para filosof seperti John Locke, semakin menghantam doktrin gereja. Pengetahuan harus didasarkan pada observasi dan eksperimen, bukan hanya tergantung pada keyakinan atau dogma gereja. Selain itu, kaum borjuis awal menjadi semakin revolusioner karena mereka membutuhkan navigasi untuk ekspansi dan penguasaan wilayah, sementara feodalisme hanya puas dengan tanah. Perkembangan ini mengubah tatanan sosial dan politik, dengan munculnya kelas-kelas baru seperti kelas borjuis yang melawan dogma gereja dan sains.
Meskipun empirisme memiliki kelebihan dalam metode observasi dan eksperimen, namun kelemahannya adalah kurang mempertimbangkan deduksi. Dalam pemikiran deduktif, kesimpulan ditarik berdasarkan prinsip-prinsip yang sudah diterima, sedangkan dalam pemikiran induktif, kesimpulan ditarik dari pengamatan dan pengalaman yang spesifik. Keduanya sebenarnya saling melengkapi dalam mencari kebenaran, namun pemikiran empiris cenderung hanya mengandalkan fakta dan pengamatan semata, sehingga terkesan mengabaikan prinsip-prinsip yang sudah diterima sebelumnya. Seiring berkembangnya zaman, pemikiran empiris kemudian mengalami kemunduran pada perkembangan filsafat selanjutnya.
Kemunduran empirisme dalam filsafat tidak bisa dipisahkan dari batas-batas yang ada pada moda produksi kapitalisme. Hal ini terlihat jelas ketika kaum borjuis Inggris yang sebelumnya revolusioner tidak lagi memiliki semangat untuk menumbangkan monarki di negaranya. Kemunduran ini dipicu oleh kebutuhan borjuis untuk mempertahankan status quo yang ada, karena pada saat itu mereka telah menjadi penguasa ekonomi dan politik. Pada saat yang sama, muncul kelompok filsuf yang mencoba menciptakan sistem filsafat yang dapat mempertahankan status quo ini. Mereka mencoba mengembalikan kepercayaan pada rasionalitas dan konservatisme, dan menolak ide-ide revolusioner.
Ketika empirisme Inggris sudah tidak memiliki esensi revolusionernya, semangat revolusionernya diteruskan oleh borjuasi Prancis. Filsuf pencerahan Prancis seperti Voltaire, Diderot, dan Rousseau menjadi tokoh penting dalam gerakan melawan dogma gereja. Mereka mendorong pemikiran rasional dan kritis, serta mengecam ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial yang terjadi pada saat itu. Pemikiran-pemikiran mereka berdampak besar pada masyarakat Prancis dan di seluruh Eropa, yang membawa perubahan signifikan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Perjuangan mereka melawan dogma gereja dan monarki juga memunculkan konsep-konsep baru seperti kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Meskipun banyak konflik dan perlawanan dari pihak gereja dan aristokrasi, borjuasi Prancis berhasil meraih kemenangan pada Revolusi Prancis pada tahun 1789, yang mengubah wajah Eropa selamanya.
Disisi lain, ada juga perkembangan filsafat di Jerman. Kant bisa dikatakan sebagai anak zaman pada periode Aufklarung. Dia mengembangkan epistemologi. Dia membedakan memahami dengan menalari. Menurut kant, materialis menekankan pada sisi obyek, tapi melupakan subyek. Sementara idealis, sebaliknya. Pikiran manusia tdk secara pasif menerima informasi, tapis secara aktif menerima itu. Namun, bagi Kant, pikiran manusia adalah bentuk dari apriori atau yang sudah ada dari awal. Kant memperkenalkan pemisahan antara fenomena dan noumena, yang kemudian dikenal sebagai kritik Kantian. Dia berpendapat bahwa pikiran manusia terbatas pada persepsi yang diperoleh melalui indera, dan tidak bisa mencapai realitas yang sebenarnya atau noumena. Filsafat Kant ini sangat memengaruhi pemikiran filsafat selanjutnya, termasuk Hegel dan Marx.
Hegel adalah seorang filsuf Jerman yang menggabungkan semua pencapaian filsafat sebelumnya dan mengembangkan konsep dialektika. Dia mempelajari sejarah dan filsafat, dan menarik kesimpulan bahwa gagasan manusia berkembang dan evolusi itu teratur dengan hukum-hukumnya. Hegel berpendapat bahwa sebuah konsep berkembang dari negasi ke negasi, atau dalam bahasa lain, dari sebuah ide yang ditentang hingga ide baru yang lebih baik terbentuk. Konsep ini kemudian mengarah pada dialektika, sebuah metode yang menempatkan perdebatan dan kontradiksi sebagai faktor penting dalam pemikiran. Dalam karyanya, "History of Philosophy", Hegel menguraikan bagaimana perkembangan pikiran manusia terjadi dalam suatu sistem yang saling berkaitan dan bagaimana hal itu membentuk pemikiran kita saat ini.