Mohon tunggu...
Achmed Hibatillah
Achmed Hibatillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

Hanya ingin selalu menulis dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Reaksioner dan Filsafat Revolusioner

8 April 2023   00:33 Diperbarui: 8 April 2023   01:46 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karl Marx. Source: https://www.dw.com/id/karl-marx-dan-perjalanan-sebuah-ide/a-16671165  

Salah satu murid Socrates yang berusaha meneruskan pemikiran gurunya adalah Plato. Dia mencoba melakukan generalisir dengan cara yang berbeda dari kaum Shopis, yaitu dengan memperkenalkan mistisisme dalam pemikirannya. Plato menganggap bahwa bentuk-bentuk ideal, seperti lingkaran, tidak berkaitan dengan dunia materi yang fana. Plato meyakini bahwa bentuk-bentuk ideal tersebut bersifat abadi dan hanya bisa diakses melalui pemikiran. Oleh karena itu, dia lebih banyak merenungkan bentuk-bentuk yang sempurna dibandingkan dengan dunia materi yang tidak sempurna. Plato menempatkan ide-ide dan konsep-konsep abstrak di atas materi, dan menekankan pentingnya akal budi dan pemikiran rasional dalam mencari kebenaran.

Namun, filsafat Plato memiliki konsekuensi yang fatal. Generalisir yang dia lakukan menuju ke tingkatang yang sangat ekstrim, yakni mempertentangkan ide dengan materi, dan pandangan manusia hanya diarahkan menuju idealisme. Hal ini menjadi basis bagi gereja Katolik yang menghambat kemajuan sains selama ribuan tahun. Filsafat Plato merupakan filsafat yang reaksioner diakibatkan pandangannya yang bersifat mistis dan abstrak hanya mengabaikan keberadaan dunia nyata. Karena pemikiran Plato yang memprioritaskan kebenaran abadi dan universal, maka hal ini menghalangi pemikiran yang lebih rasional dan empiris untuk muncul dalam dunia filsafat. Filsafat Plato menempatkan penekanan yang berlebihan pada pengetahuan yang bersifat spekulatif dan tidak didasarkan pada pengamatan dan eksperimen yang objektif. Oleh karena itu, filsafat Plato hanya menciptakan hambatan bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, dan menyebabkan keterbelakangan dalam berpikir serta keterhambatan dalam mengembangkan pengetahuan baru.

Aristoteles, seorang murid Plato, mengembangkan pendekatan filosofis yang berbeda. Selama dua puluh tahun ia mempelajari filosofi Plato namun tidak sepenuhnya setuju dengan pemikirannya. Aristoteles percaya bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengamatan yang teliti terhadap fakta-fakta konskrit di dunia materi. Ia memulai dengan pengamatan langsung melalui indra-indra manusia, dan dengan demikian menciptakan metode induksi. Metode ini melibatkan mengumpulkan data atau fakta dan menarik kesimpulan yang umum berdasarkan bukti tersebut. Aristoteles menyadari bahwa dunia di sekitarnya sangat kompleks dan bahwa teori abstrak tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas semua pertanyaan. Oleh karena itu, ia menciptakan suatu pendekatan ilmiah yang disebut empirisme, di mana pengamatan dan eksperimen digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Aristoteles juga memperkenalkan logika formal yang menjadi dasar bagi banyak penemuan ilmiah di kemudian hari. Ia adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah filsafat karena kontribusinya yang besar dalam mengembangkan metode ilmiah dan logika.

Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, salah satu kontribusi terbesar Aristoteles adalah metode silogisme atau deduksi, yang menjadi dasar logika formal. Logika formal merupakan bentuk logika yang menggunakan aturan-aturan yang ketat dan diterapkan pada struktur argumen yang terdiri dari premis dan kesimpulan. Aturan-aturan ini membantu dalam mengidentifikasi kesalahan dalam berpikir dan memastikan kebenaran suatu argumen. Aristoteles percaya bahwa logika formal dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena ketika sebuah argumen dikonstruksi dengan benar, kesimpulan yang dihasilkan akan secara otomatis benar juga. Oleh karena itu, Aristoteles menekankan pentingnya mengenali prinsip-prinsip dasar dalam logika formal, seperti prinsip identitas (A sama dengan A), prinsip kontradiksi (tidak mungkin A sama dengan B), dan prinsip eksklusi tengah (suatu pernyataan harus benar atau salah, tidak ada opsi di tengah-tengah). Dalam pemikirannya, Aristoteles juga menekankan pentingnya memulai penyelidikan dari fakta-fakta konskrit di dunia materi dan menggunakan metode induksi untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih umum.

Meskipun Aristoteles terkenal dengan logika formalnya, kenyataan sehari-hari jauh lebih kompleks daripada hanya mengandalkan logika formal. Proses-proses formal yang sederhana mungkin tidak dapat merepresentasikan realitas secara penuh. Contohnya, dalam tubuh manusia, terjadi perubahan yang sangat kompleks dan dinamis yang sulit untuk direpresentasikan secara formal. Keterbatasan dalam memahami dunia dalam gerak yang sangat dinamis telah menghasilkan doktrin-doktrin gereja yang mengandalkan teori-teori Aristoteles sebagai dasarnya. Namun, dalam realitas yang lebih kompleks, logika formal hanya dapat memberikan pemahaman yang terbatas dan terbatas pada situasi yang sangat sederhana saja.

Masyarakat budak di Yunani Kuno dan Romawi Kuno mencapai puncaknya pada sekitar abad ke-1 sebelum masehi. Pada saat itu, kelas penguasa mengalami demoralisasi akibat korupsi yang merajalela. Kelas budak, meskipun hidup dalam keterbelakangan dan kesulitan, tidak menjadi kelas revolusioner. Akhirnya, terjadi pertempuran antara kedua kelas yang berujung pada kehancuran mereka sendiri. Seiring dengan itu, munculnya abad pertengahan yang merupakan bentuk kemunduran dari filsafat dan peradaban umat manusia. Pada masa itu, terjadi kehancuran secara massal dan sering kali terjadi konflik antara kelompok-kelompok kekuatan. Kehidupan masyarakat pada abad pertengahan dipenuhi dengan perang, kelaparan, dan kehancuran. Selain itu, dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan yang ada pada zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno mulai meredup dan bergerak lambat. Tidak ada perkembangan yang signifikan dalam hal penemuan dan ilmu pengetahuan yang berarti. Abad pertengahan menjadi masa yang paling sulit bagi manusia dan melambangkan kemunduran peradaban manusia.

Pada saat Eropa masih berada di abad pertengahan, ada sebuah peradaban lain yang mengalami zaman keemasan dalam dunia filsafat, yaitu peradaban Islam. Masyarakat Islam pada masa itu mencapai kemajuan yang signifikan dalam bidang intelektual dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah dunia, periode kebangkitan intelektual di dunia Islam sering disebut sebagai "Zaman Keemasan Islam" atau "Zaman Kegemilangan Islam". Zaman ini dimulai pada abad ke-8 Masehi dan berlangsung selama beberapa abad. Pada masa itu, pusat-pusat ilmu pengetahuan dan intelektual di dunia Islam, seperti Baghdad, Kairo, dan Cordoba, menjadi tempat bagi para ilmuwan dan filosof Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran mereka. Di sana, para ilmuwan dan filosof Islam menghasilkan karya-karya yang mengagumkan dalam berbagai bidang, termasuk matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran. Filsuf-filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali, memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan pemikiran filsafat Islam. Mereka membahas tentang berbagai topik, seperti teologi, metafisika, dan epistemologi, dan menghasilkan karya-karya yang masih relevan hingga saat ini. Selain itu, perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam juga mencakup penemuan-penemuan penting, seperti penemuan angka nol, algebra, dan kertas.

Dalam perkembangan filsafat di dunia Islam pada masa keemasannya, para filsuf Muslim terbukti memiliki kontribusi penting dalam mengembangkan pemikiran dan filsafat di dunia. Mereka tidak hanya mengembangkan filsafat yang muncul dalam tradisi Islam, tetapi juga mewarisi dan mengembangkan filsafat dari Yunani kuno dan Romawi kuno. Sebelum kedatangan Islam ke Timur Tengah, filsafat Yunani dan Romawi sudah berkembang pesat di wilayah tersebut. Pada masa itu, karya-karya filosof seperti Aristoteles, Plato, dan Plotinus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diadopsi oleh para filsuf Muslim. Mereka mempelajari dan mengembangkan konsep-konsep seperti logika, metafisika, dan etika dalam filsafat Yunani dan Romawi. Namun, para filsuf Muslim tidak hanya sekadar menerjemahkan dan mengadopsi pemikiran Yunani dan Romawi, tetapi juga memberikan kontribusi dan pengembangan unik terhadap pemikiran tersebut. Misalnya, Ibnu Sina (Avicenna) mengembangkan filsafat metafisik dan karyanya "Kitab al-Shifa" dikenal sebagai salah satu karya terpenting dalam sejarah filsafat. Selain itu, Ibnu Rusyd (Averroes) juga memberikan kontribusi penting dalam pengembangan pemikiran Aristoteles, dan karyanya yang paling terkenal, "Tafsir al-Qanun", membahas tentang filsafat Aristoteles dan memberikan pandangan filosofis yang berbeda dari yang sebelumnya ada. Para filsuf Muslim juga meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan lain, seperti astronomi dan kedokteran, yang pada akhirnya memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di seluruh dunia.

Perkembangan filsafat dalam dunia Islam pada masa keemasannya tidak hanya terbatas pada bidang filsafat itu sendiri, tetapi juga memberikan pengaruh signifikan dalam perkembangan masyarakat dan ekonomi di dunia Islam. Dalam masyarakat Islam pada masa itu, terdapat kelas-kelas sosial yang diatur berdasarkan status sosial dan ekonomi mereka. Kelas-kelas ini terdiri dari para pemimpin dan elit politik, pedagang, petani, serta para pekerja dan budak. Di sisi ekonomi, perdagangan berkembang pesat di dunia Islam pada masa itu, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan sutera, yang menghasilkan banyak kekayaan dan kemakmuran bagi masyarakat Islam. Selain itu, perkembangan sains dan teknologi di dunia Islam pada masa itu juga memberikan kontribusi besar dalam kemajuan ekonomi, seperti dalam bidang astronomi, matematika, dan kedokteran. Sains dan teknologi yang dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim, seperti Al-Khwarizmi dan Ibnu Sina, memberikan kontribusi penting dalam pembangunan dan pengembangan sektor ekonomi di dunia Islam. Namun, meskipun ada perkembangan yang signifikan dalam ekonomi dan sains, masalah sosial juga terjadi di dunia Islam pada masa itu. Kesenjangan sosial dan ketidakadilan masih ada dalam masyarakat Islam, terutama antara para elit dan rakyat biasa.

Pada abad ke-13, masyarakat di dunia Islam mengalami kontradiksi internal yang sangat rumit, khususnya dalam hal perbedaan kelas sosial yang semakin memperburuk keadaan. Kelas atas, termasuk kaum penguasa, mengambil keuntungan dari kekayaan dan kekuasaan mereka sementara kelompok bawah, termasuk rakyat biasa dan kaum budak, terus menderita dalam kemiskinan dan ketidakadilan. Kesenjangan sosial dan ketidakpuasan masyarakat semakin memuncak, dan mengakibatkan konflik antar kelas semakin meningkat. Ditambah lagi, invasi Mongol pada masa itu memperburuk situasi di dunia Islam, karena invasi ini mengakibatkan kerusakan besar-besaran dan kehancuran dalam peradaban Arab. Banyak kota dan pusat budaya Islam dihancurkan oleh pasukan Mongol, termasuk Baghdad yang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada masa itu. Akibatnya, peradaban Arab mengalami kehancurannya dan masyarakat di dunia Islam mengalami krisis yang sangat besar.

Meskipun mengalami kehancuran yang besar pada masa invasi Mongol, perkembangan filsafat di dunia Islam tidak sepenuhnya terhenti. Banyak karya-karya filsafat Islam berhasil disimpan dan diwariskan ke generasi berikutnya, yang kemudian mempengaruhi perkembangan filsafat di masa depan. Selain itu, perkembangan filsafat di dunia Islam juga berhasil dipindahkan ke Eropa melalui perjumpaan antara peradaban Arab dan Eropa pada abad ke-12 dan ke-13. Pada masa itu, dunia Islam masih menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dihormati di seluruh dunia. Banyak ilmuwan, filsuf, dan intelektual dari Eropa datang ke dunia Islam untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dalam proses ini, perkembangan filsafat di dunia Islam berhasil diadopsi dan dikembangkan oleh Eropa. Para ilmuwan dan filsuf dari Eropa belajar banyak dari karya-karya terdahulu yang ditulis oleh para filsuf Islam, seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates. Mereka juga mengambil banyak ide dan konsep baru dari para filsuf Islam yang belum pernah dipelajari sebelumnya di Eropa. Hal ini memungkinkan perkembangan filsafat Eropa yang lebih maju dan beragam. Perkembangan filsafat di Eropa terutama terjadi pada abad ke-14 hingga ke-17, ketika banyak filsuf besar lahir dan berkarya, seperti Rene Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan filsafat di Eropa tidak mungkin terjadi tanpa sumbangan yang besar dari peradaban Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun