Mohon tunggu...
Ahmad Baihaqi
Ahmad Baihaqi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tulisan adalah goresan titik pada mangkuk huruf NUN. Berlayarlah dg mangkuk itu...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Cuma Simbol

10 Mei 2014   05:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bursa calon presiden semakin ramai diperbincangkan. Para pengamat politik mulai dari tingkat amatir hingga elit semakin sering melontarkan “bola salju”. Munculnya nama-nama bakal capres telah mengerucut kepada dua nama Joko Widodo yang diusung PDIP dan Prabowo yang diusung Gerindra. Meski kedua partai tersebut tidak mendapatkan hak pengusungan berdasarkan legitimasi Presidential Trashold (PT) 20% dari jumlah kursi DPRRI, kecuali dengan cara koalisi. Mengingat PDIP berdasarkan quick count hanyalah mendapatkan kursi dikisaran 19% dan Gerindra hanya 11%.

Sistem pemilihan presiden sebagaimana diatur oleh UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada sejatinya telah memasung “kebebasan” menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat banyak. Akibatnya, seorang presiden terpilih nantinya hanya akan jadi symbol atau wayang partai. Kepemimpinannya hanya terfokus pada hasil kompromi politik, plus pembagian “jatah” sentra-sentra keuangan dan ekonomi negara. Singkatnya, kepentingan partai menjadi lebih dominan ketimbang kepentingan rakyat banyak.

Kebebasan menjalankan pemerintahan, mulai dari penempatan para menteri di kabinet hingga penentuan kebijakan penting, dipandang perlu dari sisi kemandirian presiden sebagai mandataris rakyat. Toh, pada kenyataannya rakyatlah yang memilih presidennya secara langsung.

Namun pada kenyataannya, meski presiden dipilih langsung oleh rakyat, tapi rakyat tak bisa berbuat banyak. Aspirasi rakyat selalu saja terbentur oleh kepentingan partai akibat adanya konsesi-konsesi politik dalam pemerintahan. Akhirnya, para anggota DPR sebagai lembaga “pengawas pemerintah” yang seharusnya mewakili rakyat dipersempit tugasnya menjadi mewakili (elit) partai. Timbang-timbang politik telah mengkaburkan banyak kepentingan yang seharusnya dititikberatkan bagi kepentingan bangsa dan negara secara lebih luas.

Mekanisme politik yang secara langsung mempengaruhi dan menentukan lembaga eksekutif sangat sulit menjadikan seorang presiden benar-benar bisa menjalankan tugasnya secara hanya sesuai mekanisme hukum administrasi/tata usaha negara. Hal ini memaksa kita untuk berkata; “Siapapun presidennya, ia tetaplah jadi boneka partai”. Artinya, cita-cita good governance yang diimpikan oleh rakyat banyak sampai kapanpun tidak akan bisa tercapai. Ini bukan soal system politik yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan, tapi soal mentalitas para pelaku politik yang secara langsung menyumbang “birahi” untuk “memaksa” calon presiden yang diusungnya supaya memenuhi “tuntutannya”. Si presiden menjadi tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanyalah memenuhi selera cukong-cukong partai.

Walhasil, presiden hanyalah symbol lembaga eksekutif. Dia seperti robot yang nrimo terhadap perintah konsesi politik. Presiden tidak bisa nrimo terhadap perintah rakyat hingga benar-benar menjadi pelayannya. Seorang presiden hanyalah boneka bagi konsesi politik, bukan benar-benar boneka rakyat. Kalau kondisinya seperti ini, anak TK yang berusia 5 tahun pun bisa menjabat dan duduk sebagai presiden.

Alhajj Ahmad Baihaqi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun