Mohon tunggu...
ACHMAD YUDA PRAYOGI
ACHMAD YUDA PRAYOGI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa D-IV Teknologi Radiologi Pencitraan Universitas Airlangga

Mahasiswa semester 1 D-IV Teknologi Radiologi Pencitraan Universitas Airlangga, memiliki MBTI (INFP-T). Memiliki hobi mendengarkan musik dan menonton film. Sangat tertarik dengan editing and photography

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Childfree, Solusi Praktis atau Isu Sosial yang Harus Diperhatikan?

4 Desember 2024   00:00 Diperbarui: 4 Desember 2024   00:03 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Childfree kini sedang menjadi suatu fenomena yang sangat ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia di suatu platform media sosial yakni Twitter. Bagaimana tidak? fenomena ini mulai populer di kalangan generasi milenial dan generasi Z hingga memunculkan perdebatan di tengah masyarakat. Muncul stigma baru terkait fenomena ini baik positif maupun negatif yang mana menuai pro dan kontra di kalangan netizen dan memunculkan pertanyaan, apakah fenomena ini merupakan solusi atau masalah untuk menjadi sebuah pilihan?.

Fenomena childfree yang  merupakan budaya luar ini perlahan hadir dan berkembang di Indonesia. Childfree diartikan sebagai sepasang suami istri yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak. Pilihan tersebut tentu saja bertentangan dengan tujuan menikah bagi sebagian besar masyarakat yang menginginkan untuk melanjutkan garis keturunan mereka dengan memiliki anak. Di Indonesia sendiri, fenomena ini masih sulit untuk dianggap normal dan mayoritas masyarakat Indonesia kontra terhadap fenomena childfree ini.

Munculnya keinginan untuk melakukan childfree tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut yang dibagi menjadi dua, yaitu faktor dari sisi positif dan faktor dari sisi negatif. Dari sisi negatif, menurut data hasil kuesioner yang dimuat dari jurnal yang berjudul "Fenomena Childfree di Twitter pada Generasi Millenial" mayoritas dari responden memutuskan untuk childfree disebabkan karena latar belakang ekonomi yang dimana seiring berjalannya waktu kebutuhan hidup akan terus membengkak setiap tahunnya, baik kebutuhan primer maupun sekunder. Mereka sudah memperkirakan akan besarnya biaya untuk membesarkan anak dan beranggapan bahwa untuk apa mempunyai anak jika mereka tidak bisa memberikan kebutuhan hidup yang layak kepada anak-anak nantinya di masa yang akan datang. Selain itu, pilihan untuk childfree dilakukan oleh beberapa orang dikarenakan permasalahan pada mental yang disebabkan oleh trauma masa lalu, seperti korban orang tua yang bercerai, keluarga yang toxic, dan masalah emosional yang tidak stabil. Mereka khawatir hal hal tersebut nantinya akan berdampak buruk pada psikologis si anak yang pada akhirnya ini menjadi faktor mengapa childfree dipandang lebih baik oleh mereka.

Dilansir dari data yang dirilis pada tahun 2023 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tentang topik childfree, terdapat sebuah survey yang menunjukkan sejumlah 71.000 perempuan berusia 15-49 tahun telah memilih untuk childfree. Berdasarkan survey tersebut, Fenomena childfree menjadi pilihan beberapa orang karena mereka masih ingin fokus mengejar pendidikan maupun karir. Ini sangat relate dengan kehidupan dunia kerja bagi para wanita terutama yang berasal dari perkotaan karena faktanya wanita yang sudah memiliki anak mayoritas sulit mendapatkan pekerjaan. Di lansir dari liputan6.com, sebuah penelitian terbaru di Inggris mengungkap fakta terkait wanita yang baru memiliki anak dengan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Menurut peneliti, sekitar 18 persen wanita yang baru melahirkan sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut dinilai akan menghambat para wanita untuk mengembangkan diri dalam karir dan jabatan. Maka dari itu, sementara waktu childfree menjadi solusi bagi mereka.

Keputusan untuk melakukan childfree bukanlah suatu solusi. Perlu diingat bahwasanya anak merupakan salah satu anugerah yang diberikan oleh Tuhan dan childfree bukanlah pilihan yang tepat jika pengambilan keputusan hanya didasarkan pada ego pribadi. Childfree juga bukan suatu masalah yang abnormal karena pada dasarnya pilihan untuk menikah tanpa memiliki anak merupakan hak setiap individu dan harus dihormati. Ada kalanya seseorang memilih melakukan childfree hanya untuk menundanya sementara waktu saat faktor-faktor yang telah dijabarkan di paragraf sebelumnya terjadi di kehidupan mereka. Bukan berarti mereka tidak ingin memiliki anak, tetapi anak merupakan tanggung jawab yang besar. Keputusan untuk memiliki anak harus mempertimbangkan segala aspek secara matang. Anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan dan anak tidak bisa memilih orang tua mana yang akan melahirkan dan merawatnya karena memang hal tersebut sudah menjadi ketetapan dari Tuhan. Namun, orang tua bisa memutuskan bagaimana mereka akan menjadi orang tua atau bahkan memilih untuk tidak menjadi orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun