Mohon tunggu...
Achmad Syujai
Achmad Syujai Mohon Tunggu... Guru - pesantrennuris.net

Penulis adalah alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jember. Saat ini penulis bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di SMK NURIS Jember dan pembina jurnalistik di lingkungan Yayasan Nurul Islam, Antirogo-Jember. Selain mengajar, penulis juga aktif berkarya bersama grup musikalisasi puisi “Selimut Dingin” Jember.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu Halaman Saja

2 Desember 2016   13:42 Diperbarui: 2 Desember 2016   13:58 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebelum membaca, saya ingin menyapa terlebih dahulu kepada para pembaca di kompasiana. Saya baru bergabung di sini. Entah sebelumnya saya pergi ke mana. hehe. Nama saya ada di atas. Nama asli pemberian ayah saya. Ketika saya menulis ini, saya masih berstatus mahasiswa aktif di Universitas Jember. Pada tulisan perdana ini, saya akan berbagi tentang cerpen super pendek saya. Mengapa super pendek? Karena cerpen ini saya tulis persis satu halaman kertas A4, font Calibri 11.

Oke langsung saja ke materi cerpennya. Saya mohon apresiasinya berupa kritik dan saran. Terima kasih.

***

Tepat tengah malam, Aldo dengan posisi terlentang sedikit menggerakkan bibirnya. Tampak sebuah senyum yang urung karena pemiliknya tengah tertidur. Tak hanya itu, mulutnya yang sedikit menganga itu menunjukkan betapa sang pengeran kecil sudah benar-benar menikmati waktu istirahatnya. Jika boleh ini diumpamakan sebuah film, maka akan muncul adegan mimpi di atas kepala Aldo. Tampak ia sedang menimkati indahnya padang safana yang hijau membentang sejauh mata memandang. Oh apalagi yang lebih indah dari mimpi yang membuat pemimpinya tersenyum di luar sana?

Berbeda dengan Aldo yang masih asik dengan padang safananya, Amir tampak sangat terpuruk. Tubuhnya mengucurkan keringat. Kipas angin yang sedari tadi geleng-gelengitu tak mampu mengeringkan punggung Amir yang kian basah. Amir mengalami suatu kejadian yang paling tak disenangi anak laki-laki.

Siapa yang menyangka akan terjadi dua mimpi yang sangat berbeda sedang pemiliknya tidur bersama? Namun hal itu tak jadi perhatian. Mungkin hanya aku saja yang peduli dan memang hanya aku yang terjaga dari kalutnya kondisi rumah saat itu.

Tiba-tiba Amir berteriak, “Ah tidak. Gigiku. Ah. gigiku”. Teriakan itu sontak membuat seisi rumah menoleh ke arah Amir yang masih terlelap. Kedua matanya masih terpejam. Bayangan itupun muncul kembali. Tampak Amir sedang berlari sambil menutup mulutnya yang penuh darah. Oh siapa yang menginginkan kenyataan bahwa aku menyimpan suatu cerita padanya ketika ia terbangun. Tetapi aku harus tetap melaksanakan tugasku untuk menjaga kepulasan tidur mereka agar tidak terganggu hiruk-pikuk di luar sana.

Setelah Amir sudah mulai tenang, ku lirik wajah Aldo. Ia masih tertidur pulas. Ia tak ternganggu sedikitpun oleh teriakan mengerikan abangnya. Sesekali ia perbaiki posisi gulingnya. “Bagaimana, Nak? Apa mereka terbangun?” Tiba-tiba suara Pak Nali mengagetkanku. Kulihat hanya kepalanya yang muncul dari balik pintu. “Tidak, Pak. Mereka masih terlelap. Apa saya harus mem.....”. “Kamu jaga dulu ya. Sebentar lagi sudah datang”. Pak Nali langsung memotong.

Aku kembali pada kedua tubuh yang tengah bersiap kembali. Hampir tiga jam aku menyaksikan bagaimana kedua tubuh itu saling menunjukkan apa yang sedang terjadi di balik kepala mereka. Aldo masih saja menunjukkan senyum polosnya. Tampaknya ia belum juga selesai dengan taman impiannya itu. Ya mungkin itu perwujudan dari keinginannya yang tak sempat dipenuhi oleh ayahnya. Ia hanya bocah yang sedang bermimpi. Lain hal dengan abangnya yang tak juga menunjukkan tanda-tanda akan selesai dengan mimpi buruknya. Sesekali kulihat matanya yang sedikit terbuka itu melirik kepadaku. Tak hanya itu, kedua bola hitam itu juga bergerak.

Suasana bertambah mengerikan ketika sayup-sayup terdengar suara yang agaknya paling dibenci oleh anak laki-laki dan perempuan sepertiku. Suara sirine itu mulai jelas. Semakin lama-semakin mengobrak-abrik hatiku yang kali ini mulai kacau. Aku yang seharusnya bercerita ketika mereka bangun tak kuasa lagi membendung segala ketakutan dan kesedihanku.

“Amir.... Aldo..... Bangun....”

Orang-orang berebut menurunkannya dalam mobil.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun