BICARA soal mafia hukum, seakan tak pernah ada habisnya. Dimana-mana (semua lini kehidupan) ada mafia. Mulai dari mafia tanah, mafia pendidikan, mafia peradilan, mafia wanita (tempat hiburan malam), mafia preman, mafia bisnis, mafia uang rakyat (korupsi), mafia kuburan hingga mafia tetek bengek.
Itulah potret buram yang tak pernah hilang dari negeri ini. Aparatur negara bahkan negara sendiri tidak mampu 'memetani' (memotret) satu persatu mafia mafia semacam ini, lalu mengambil tindakan atau 'langkah-langkah' --seperti istilah yang selalu dipakai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan masalah.
Adanya mafia itu, belakangan diakui Jaksa Agung Basrief Arief. Ia menyatakan pengadilan dipenuhi dengan mafia hukum. Meski kesejahteraan hakim naik berkali lipat, namun belum bisa mencegah adanya mafia-mafia tersebut.
Basrief mengatakan, menegakkan hukum dengan adil dan bersih merupakan tugas yang berat. Sebab, lembaga peradilan telah banyak dikuasai oleh mafia peradilan. "Yang terjadi saat ini, penuh dengan mafia hukum dan ini terjadi pada setiap tingkat pengadilan," kata Basrief Arief, kepada wartawan usai menandatangani nota kesepahaman dengan Komisi Yudisial (KY) dalam bidang hukum di gedung KY, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2013).
"Penguatan lembaga hukum tidak akan bermakna apa-apa kalau dalam praktiknya tidak dibarengi dengan orang-orang yang kredibel dan bermoral," tutur Basrief. Â Lalu bagaimana Pak dengan di Kejaksaan? Benarkah di kejaksaan tak ada mafia? Beberapa bulan lalu, Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi menilai Kejaksaan Agung 'mengambangkan' pengusutan kasus dugaan korupsi pengerjaan studi perencanaan dan Amdal Jalan Tol Nusa Dua, Denpasar, Bali, karena masih berlarut-larutnya penyelesaian kasus yang diduga merugikan negara sebesar Rp 2.3 miliar tersebut.
"Kelihatannya kasus ini diambangkan oleh Kejagung. Kalau diambangkan, seperti ada negosiasi dalam kasus ini," ujar Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky Khadafi kepada pers, Rabu (27/02). Â Karena itu, Uchok mendesak Kejaksaan Agung membentuk tim audit dengan melibatkan Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan atau BPKP. Hal itu untuk memastikan ada tidaknya kerugian negara dalam proyek tersebut.
"Seharusnya Kejaksaan minta BPKP untuk mengaudit terhadap proyek ini. Bentuk tim di sana untuk melihat adatidaknya kerugian negara," ujarnya. Contoh lain bahwa Kejaksaan Agung 'mengambangkan' perkara, juga terjadi di daerah lain. Misalnya kasus korupsi divestasi saham PT KPC senilai Rp 576 miliar yang menyeret Awang Farouk Ishak yang kini menjabat sebagai Gubernur Kaltim sebagai tersangka.
Sangking gemesnya, Indonesia Coruption Watch (ICW) mendesak KPK mengambilalih kasus itu. "Ada 2 syarat pengambilalihan kasus oleh KPK. Pertama, kasus telah menjadi perhatian publik, kedua penanganan yang berlarut-larut. Tidak ada alasan lagi (KPK tidak mengambil alih kasus tersebut)," kata Koordinator ICW Danang Widoyoko.
Danang mengatakan, Jampidsus yang saat ini tengah menangani kasus Awang, juga perlu dievaluasi oleh Jaksa Agung. Mengingat, kasus ini patut diduga persoalannya terletak pada penyidik kejaksaan. "Jaksa Agung perlu mengevaluasi Jampidsus. Ini ada yang aneh. Perlu ada kepastian hukum terkait kasus itu," ujar Danang.
Masih menurut Danang, ICW bersama dengan pegiat antikorupsi dari Kalimantan Timur, pernah menyampaikan penanganan kasus Awang Farouk ke Presiden SBY beberapa waktu lalu. Namun hingga saat ini, kasus itu tidak kunjung terselesaikan. "Sudah kita sampaikan ke Presiden SBY agar kasus ini dituntaskan. Tapi tidak selesai penanganannya," tutup Danang.
Kejagung menetapkan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sebagai tersangka sejak 6 Juli 2010 lalu berdasarkan pernyataan Jampidsus M Amari, 9 Juli 2010 lalu. Awang diduga merugikan negara hingga Rp 576 miliar.