Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa yang Memutih Pasca Erupsi Sinabung

12 Agustus 2020   07:38 Diperbarui: 12 Agustus 2020   07:43 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan sebuah tempat indah bersalju. Warna putih itu bukanlah salju yang diidam-idamkan seperti wisatawan negara tropis. Warna memutih itu bukan juga cat yang sengaja dibuat seragam agar pemukiman desa nampak rapi dan indah.

Buat sebagian orang itu adalah keindahan, namun tidak buat saya dan warga Ndeskati Namanteran Karo Sumatera Utara.

Sebelum warna memutih itu tergambar gamblang, suara ledakan dibarengi semburan abu vulkanik membuat warga desa bergidik. Dini hari nan gelap, Sabtu, (8/8) mereka saling berpelukan di dalam rumah. Ada yang mengira hujan karena bunyi abu disertai kerikil mendera atap-atap rumah mereka.

Pagi hari saat warga membuka pintu rumahnya, sesak nafas mereka. Mereka dapati kampung mereka berdebu tebal. Mata perih dan nafas sesak bila terpapar debu yang tajam nan berbau belerang ini. Apa jadinya dengan kebun sayur mereka yang sudah siap panen. Ya, ini debu vulkanik dari Gunung Sinabung. Gunung gagah ini kembali erupsi.

Desa Ndeskati yang memutih pasca erupsi Gunung Sinabung (dok. pribadi, 11/8/2020)
Desa Ndeskati yang memutih pasca erupsi Gunung Sinabung (dok. pribadi, 11/8/2020)
Baru sehari tenang dari erupsinya Sinabung meledak lagi pada Senin siang (10/8). Bunyi Tonggeret bersahutan padahal hari masih siang. Benar siang tapi Ndeskati nampak gelap laksana malam. Suasana ini semakin menyesakkan dada. Pak Lukman Sembiring menangis di ujung handphone.

"Habis Pak tanaman kami tertimbun debu. "

Sesenggukan Pak Lukman tak sanggup saya menahannya. Saya akhirnya bergeming. Dalam waktu setengah jam,, saya mengubah keputusan yang tadinya stay at home akhirnya harus go to Ndeskati. Ndeskati memanggil saya.

Tak disangka enam anak-anak muda tangguh memilih bergabung dengan saya. Mereka bukan untuk gaya-gayaan di lokasi bencana. Saya tahu persis mereka. Nurani kemanusiaan mereka terpanggil.

Desa Ndeskati yang memutih pasca erupsi Gunung Sinabung (dok. pribadi, 11/8/2020)
Desa Ndeskati yang memutih pasca erupsi Gunung Sinabung (dok. pribadi, 11/8/2020)
Ndeskati sudah saya dekati. Bayangan Desa yang memutih jadi nyata. Ada anak kecil dengan masker sampai berwarna coklat saking kotornya. Tak tega melihatnya. Saya sodorkan masker ke anak yang didampingi ibunya. Sedikit ucapan terima kasih membuat saya bahagia bisa memulai menuntaskan niat berbagi.

Drone putih merekam jelas Ndeskati yang memutih. Anak-anak tetap saja dengan keceriaannya. Sebab drone bagi mereka bisa mengobati rindu bertemu para relawan yang lama tak bersua ke Ndeskati.

Ndeskati... Mari kita dekati dengan hati. Mereka memutih bukan kehendak sendiri. Mereka tak berharap banyak dari kita. Sekedar empati sudah membuat mereka lapang hati dengan musibah ini.

Salam Kemanusiaan

Medan, 11-8-2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun