Coronavirus disease 2019 (Covid-19) masih terus menginfeksi penduduk bumi. Hingga hari ini (26/4/2020) 14.00 WIB, situs live update coronavirus, Worldometer merilis jumlah penduduk bumi yang terinfeksi mencapai lebih dari 2.9 juta dengan jumlah kematian 203.307 jiwa.
Amerika Serikat menempati peringkat pertama baik dari jumlah terinfeksi maupun yang meninggal akibat virus corona.
Jumlah kasus Covid-19 terkonfirmasi (positif) di Amerika Serikat mendekati angka 1 juta jiwa dengan jumlah penduduk meninggal akibat Covid-19 sebanyak 54.265 jiwa. Adapun di Indonesia hingga tanggal 25 April 2020 kasus Covid-19 terkonfirmasi mencapai angka 8445 dengan angka kematian 720.
Beberapa negara sudah menerapkan aturan untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Salah satu aturan yang diterapkan oleh banyak negara pembatasan mobilitas dan jaga jarak antar warga secara ketat yang dikenal dengan lockdown.
Kebijakan lockdown ini tidak diterapkan semua negara yang terpapar virus korona. Indonesia saja baru menerapkan 'lockdown' dengan tujuan social distancing berskala luas yang dikenal dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Lockdown dan bentuk pembatasan mobilitas dan jaga jarak antar warga ini selain memutus rantai penyebaran virus corona, juga memiliki dampak signifikan bagi lingkungan.
Sebuah laporan yang dihimpun oleh IQAir, sebuah platform berbasis online berisi update dan prediksi kondisi kualitas udara untuk seluruh kota di dunia merilis sebuah laporan berjudul COVID-19 AIR QUALITY REPORT, 2019 coronavirus pandemic lockdown result in unprecedented reductions in deadly particle pollution oleh +IQAir.
Laporan ini menyajikan hasil penyelidikan tentang dampak lockdown akibat Covid-19 terhadap tingkat polusi udara di 10 kota di dunia. Sepuluh kota dunia yang diselidiki datanya adalah Delhi, London, Los Angeles, Milan, Mumbai, New York, Roma, Sao Paulo, Seoul, and Wuhan.

Sembilan dari sepuluh kota dunia mengalami pengurangan PM2.5 dari periode yang sama pada 2019. PM2.5 secara luas dianggap sebagai polutan yang merupakan ancaman terbesar bagi kesehatan dari semua polutan udara yang diukur.
Di tujuh kota yang diidentifikasi ini, pembatasan drastis pada pergerakan orang dan kegiatan ekonomi yang diberlakukan selama lockdown menghasilkan pengurangan PM2.5 sebesar 25-60%, dibandingkan dengan periode waktu yang sama tahun lalu.

Waktu-waktu dengan kondisi udara "tidak sehat" di Delhi dan nilai yang lebih buruk, turun secara drastis dari 68% pada 2019 menjadi 17% selama periode penguncian (Menurut Indeks Kualitas Udara AS).
Adapun di Los Angeles mengalami kondisi udara bersih dengan persentase terbesar dan terlama dalam catatan yang memenuhi pedoman kualitas udara WHO. Mumbai, Sao Paulo dan New York juga mengalami penurunan polusi udara masing-masing sebesar 34%, 32%, dan 25% selama masa lockdown.
Bagaimana dengan kondisi kualitas di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)?
Jakarta yang pertama kali menerapkan PSBB pertama dan masih berlaku saat ini memiliki kualitas udara dengan warna "oranye" yang berarti tidak sehat untuk kalangan rentan pada 26 April 2020 pukul 14.00 WIB.
Menurut situs IQAir dalam kondisi fluktuatif dari sedang (kuning), tidak sehat untuk kalangan sensitif (oranye), tidak sehat (merah muda) kemudian sehat atau bersih (hijau).
Adapun Kota Bandung diprediksi memiliki kondisi kualitas udara yang rata-rata sedikit lebih baik dibandingkan Jakarta dengan rata-rata kondisi udaranya sedang.


Apalagi lockdown total diterapkan oleh pemerintah Indonesia di daerah "zona merah" Covid-19, penurunan konsentrasi polutan bisa lebih signifikan seperti di negara yang dikaji pada laporan oleh IQAir terhadap 10 kota di dunia tersebut.
Efek positif lain bagi lingkungan yang akan terjadi dari penerapan pembatasan aktivitas dan mobilitas warga seperti PSBB diantaranya; berkurangnya pencemaran air akibat ditutupnya industri, pengurangan emisi gas rumah kaca karena berkurangnya aktivitas industri dan berkurangnya konsumsi bahan bakar fosil.
Selain itu, dampak positif lainnya yakni berkurangnya pencemaran air dari industri, percepatan pemulihan lahan secara alami yang rusak akibat aktivitas illegal, tersedianya waktu untuk flora dan fauna tumbuh dan berkembangbiak dengan minim gannguan manusia serta menurunnya heat island di perkotaan akibat menurunnya konsentrasi polutan di udara.

Aktivitas dan mobilitas warga yang tinggi meningkatkan aktivitas industri sehingga memicu pemakaian bahan-bahan yang mengeluarkan zat pencemar yang berdampak buruk tidak hanya pada manusia namun juga makhluk hidup lainnya dan lingkungan.
Kota Medan dan kota lainnya di Sumatera Utara sampai saat ini belum menerapkan PSBB seperti yang dilakukan kota-kota lainnya di Indonesia. Padahal dari data kasus Covid-19 terkonfirmasi, secara umum terjadi peningkatan jumlah kasus, jumlah pasien meninggal dan perluasan area penularan.
Kota Medan juga termasuk dalam kategori transmisi lokal dalam penularan Covid-19. Artinya, potensi tingkat penularan covid-19 menjadi semakin besar.
Seharusnya Kota Medan bisa menerapkan PSBB melihat indikator sebaran penularan Covid-19 untuk mencegah meningkatnya kasus Covid-19. Selain itu, Kota Medan memerlukan masa pemulihan lingkungan yang cukup karena selama ini kualitas udara Kota Medan tidak dalam kualitas yang baik.
Dengan penerapan PSBB, kita tidak hanya mendapatkan harapan bebasnya warga dari wabah Covid-19 tapi juga kualitas lingkungan yang lebih baik.
Achmad Siddik Thoha
Dosen Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara Medan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI